Wednesday, December 28, 2011

Ruqyah (1): Terapi Ruqyah Syar’i



Saudariku yang dirahmati Allah, saat ini, sering kali kita mendengar terapi pengobatan ruqyah namun pengertian yang terlintas dibenak kita adalah terapi untuk mengusir gangguan jin. Hal ini adalah pendapat keliru dan salah kaprah dikalangan masyarakat saat ini. Padahal, ruqyah yang sesuai syar’i adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyari’atkan untuk dilakukan bagi setiap muslim pertama kali saat dirinya merasa sakit, baik sakit fisik maupun karena gangguan jin.

Apa itu Ruqyah ?
Ruqyah (dengan huruf ra’ di dhammah) adalah yaitu bacaan untuk pengobatan syar’i (berdasarkan riwayat yang shahih atau sesuai ketentuan ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama) untuk melindungi diri dan untuk mengobati orang sakit. Bacaan ruqyah berupa ayat ayat al-Qur’an dan doa doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tidak diragukan lagi, bahwa penyembuhan dengan Al-Qur’an dan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa ruqyah merupakan penyembuhan yang bermanfaat sekaligus penawar yang sempurna bagi penyakit hati dan fisik dan bagi penyakit dunia dan akhirat. Bagaimana mungkin penyakit itu mampu melawan firman-firman Rabb bumi dan langit yang jika firman-firman itu turun ke gunung makai ia akan memporakporandakan gunung gunung. Oleh karena itu tidak ada satu penyakit hati maupun penyakit fisik melainkan ada penyembuhnya.

Allah berfirman, “Katakanlah, ‘AlQur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang orang yang beriman.’” (Qs. Fushilat: 44)

Dan di surah Al Isra’ 82, “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang orang yang beriman.”

Dan di surat Yunus ayat 57, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit penyakit (yang berada) didalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yunus: 57)

Pada masa jahiliyah, telah dikenal pengobatan ruqyah. Namun ruqyah kala itu banyak mengandung kesyirikan. Misalnya menyandarkan diri kepada sesuatu selain Allah, percaya kepada jin, meyakini kesembuhan dari benda benda tertentu, dan lainnya. Setelah Islam datang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ruqyah kecuali yang tidak mengandung kesyirikan,

‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’

Beliau menjawab, ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim no. 2200)

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Hadits menunjukkan bahwa hukum asal seluruh ruqyah adalah dilarang, sebagaimana yang tampak dari ucapannya: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah.’

Larangan terhadap segala ruqyah itu berlaku secara mutlak. Karena di masa jahiliyyah mereka meruqyah dengan ruqyah-ruqyah yang syirik dan tidak bisa dipahami maknanya. Mereka meyakini bahwa ruqyah-ruqyah itu berpengaruh dengan sendirinya.

Ketika mereka masuk Islam dan hilang dari diri mereka yang demikian itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dari ruqyah secara umum agar lebih mantap larangannya dan lebih menutup jalan (menuju syirik).

Selanjutnya ketika mereka bertanya dan mengabarkan kepada beliau bahwa mereka mendapat manfaat dengan ruqyah-ruqyah itu, beliau memberi keringanan sebagiannya bagi mereka. Beliau bersabda,

‘Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa menggunakan ruqyah-ruqyah selama tidak mengandung syirik’.

Mencegah Lebih Baik dari Mengobati
Saudariku, sesungguhnya syari’at Islam telah sempurna sehingga tidak ada hal melainkan sudah ada keterangannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, Allah telah mengabarkan apa apa yang baik bagi seorang hamba dan apa apa yang mesti ditinggalkan dengan segala hikmah yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui.


Diantara apa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu berdzikir mengingat Allah dalam setiap keadaan, dzikir pagi dan petang hari, ketika hendak tidur, ketika masuk dan keluar rumah, saat memakai baju, dan lainnya hingga tidur lagi. Jika kita selalu menjaga dzikir dzikir ini pada waktunya, niscaya ia akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, mencegah segala keburukan, mendatangkan berbagai manfaat dan menolak datangnya bahaya.


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika Allah akan memberi kunci kepada seorang hamba, berarti Alah akan membukakan (pintu kebaikan) kepadanya dan jika seseorang disesatkan Allah, berarti ia akan tetap berada di muka pintu tersebut.”

Bila seseorang tidak dibukakan hatinya untuk berdoa dan berdzikir, maka hatinya selalu bimbang, perasaannya gundah gulana, pikiran kalut, gelisah hasrat dan keinginannya menjadi lemah. Namun bila seorang hamba selalu berdoa dan berdzikir memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai keburukan, niscaya hatinya menjadi tenang karena ingat kepada Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (Qs. Ar Ra’d: 28)

Doa dan dzikir yang dilaksanakan seharusnya adalah doa dan dzikir yang ada tuntunannya dari Rasulullah. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

Dzikir yang paling baik dan paling bermanfaat adalah doa dan dzikir yang diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, dilaksanakan dengan konsisten dari doa dan dzikir yang dicontohkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang yang melakukannya memahami makna dan maksud yang terkandung didalamnya.”

Seorang muslim seharusnya menjaga diri semaksimal mungkin dengan hal hal yang telah disyari’atkan Allah Ta’ala yaitu menjaga AllahTa’ala dengan benar benar mengikhlaskan diri dalam mentauhidkan-Nya, senantiasa bertaqwa, senantiasa berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjauhi bid’ah dan menyelisihi pada pengikut hawa nafsu.

Pada artikel selanjutnya insya Allah akan dijelaskan tentang tahap-tahap meruqyah, insya Allah.

Sumber:
Doa dan Wirid, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz
Doa doa Ruqyah ,Dr.Khalid bin Abdurrahman al-Jarisi

Penulis: Ummu Mu’aadz
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Tuesday, November 15, 2011

Deep breathing for r healthier mind and body






Betul-betulkan yg biasa dan biasa-biasakan yg betul....



Deep breathing can be an important coping skill to learn. It may sound silly, but many people do not breathe properly. Natural breathing involves your diaphragm, a large muscle in your abdomen.


When you
breathe in, your belly should expand. When you breathe out, your belly should fall. Overtime, people forget how to breathe this way and instead use their chest and shoulders. This causes short and shallow breaths, which can increase stress and anxiety.


Fortunately, it is not too late to "re-learn" how to breathe and help protect yourself from stress. Practice the simple exercise below to improve your breathing.

Difficulty: Easy
Time Required: 10 minutes
Here's How:
Find a comfortable position either lying on your back or sitting. If you are sitting down, make sure that you keep your back straight and release the tension in your shoulders. Let them drop.

Close your eyes.

Place one hand on your stomach and the other on your chest.

Take a few breaths as you normally would. Does your belly rise and fall with every inbreath and outbreath? If you can answer "yes," that is good. This is the natural way of breathing. If your belly stays still but your chest rises and falls with every breath, practice breathing by only allowing your belly to rise and fall when you breathe in and out.

Continue to take deep breaths, concentrating on only moving your belly.

Continue as long as you would like!

Tips:
It can take some time to re-learn how to breathe. The more you practice, the easier it becomes. Take some time each day to practice this exercise. You can do it anywhere.

Try to practice this exercise at a time when you are already relaxed. This will make it easier to take deeper breaths.

If you are having trouble taking deep breaths, try breathing in through your nose and exhaling through your mouth. Also, slowly count to five in your head as you breathe in and out.

Matthew Tull, PH.D

credit to:
Prof Dr Muhaya


Wednesday, November 9, 2011

Virtues and characteristics of the water of Zamzam


"Does zam zam water have any significance, like is there any hadis to say its used for cures etc and or keep niyya and drink it for a purpose. "

jazaak allah khairan


Praise be to Allaah.

Zamzam is the name of a famous well in al-Masjid al-Haraam [the Sacred Mosque in Makkah], which is thirty-eight cubits away from the Ka’bah. It is the well of Ismaa’eel the son of Ibraaheem (peace and blessings of Allaah be upon them both), from which Allaah quenched the thirst of Ismaa’eel when he was an infant. His mother looked for water for him, but could not find any. She climbed to the top of al-Safaa, praying to Allaah to help her and give her water for Ismaa’eel, then she climbed to the top of al-Marwah and did the same. Allaah sent Jibreel, and he struck the earth with his heels, and water appeared.


Drinking from the water of Zamzam:

The scholars (may Allaah have mercy on them) agreed that it is mustahabb (recommended) for pilgrims on Hajj and ‘Umrah in particular, and for all Muslims in general, to drink Zamzam water, because of the saheeh hadeeth in which the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) is reported to have drunk the water of Zamzam. (Reported by al-Bukhaari, 3/492).


According to the hadeeth of Abu Dharr (may Allaah be pleased with him), the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said concerning the water of Zamzam,

It is a blessing, and it is food that satisfies.” (Reported by Muslim, 4/1922).
Al-Tayaalisi (61) added, in a version that he narrated:
“and a cure for the sick.”
I.e., drinking the water of Zamzam means that a person does not need to eat, and it will cure his sickness – but this is when he drinks it with faith and sincerity, as proven in the hadeeth of Abu Dharr al-Ghifaari who stayed in Makkah for a month without any nourishment except Zamzam water.

Al-‘Abbaas ibn ‘Abd al-Muttalib (may Allaah be pleased with him) said:

“The people used to compete over Zamzam during the time of Jaahiliyyah. People who had children used to bring them and give them to drink, and this was their early-morning victuals. We used to used to think that it was a help for people who had children.”
Al-‘Abbaas said: “During the Jaahiliyyah, Zamzam was known as Shabaa’ah (satisfaction).”


Al-‘Allaamah al-Abbi (may Allaah have mercy on him) said:

“(The water) is for whatever purpose it is drunk for, and Allaah made it food and drink for Ismaa’eel and his mother Haajar.”

Ibn al-Mubaarak entered Zamzam and said,

“O Allaah, Ibn al-Mu’ammal told me, from Abu’l-Zubayr from Jaabir that the Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon him) said: ‘The water of Zamzam is for whatever purpose it is drunk for,’ so, O Allaah, I am drinking it (to quench) my thirst on the Day of Resurrection.”

The two angels washed the heart of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) when he was a child, after they had taken it out, then they put it back. Al-Haafiz al-‘Iraaqi (may Allaah have mercy on him) said: “The reason why the Prophet’s chest was washed with Zamzam water was to make him stronger so that he could see the kingdom of heaven and earth, and Paradise and Hell, because one of the special qualities of Zamzam is that it strengthens the heart and calms the soul. The report about the chest of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) being washed with the water of Zamzam is proven in the hadeeth of Abu Dharr (may Allaah be pleased with him), who reported that the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “My roof was opened when I was in Makkah, and Jibreel (peace be upon him) came down and opened my chest, then he washed it with Zamzam water. Then he brought a gold basin full of wisdom and faith, poured it into my chest, and closed it up again. Then he took me by the hand and ascended with me into the first heaven.” (Reported by al-Bukhaari, 3/429).

It is sunnah to drink one’s fill of Zamzam water and to quench one’s thirst.

The fuqaha’ have mentioned the etiquette that is mustahabb (recommended) when drinking Zamzam water, such as facing the Ka’bah, saying Bismillah, pausing to take a breath three times, drinking one’s fill, praising Allaah after one finishes, and sitting whilst drinking it, as one should do when drinking other kinds of drinks.

As regards the hadeeth of Ibn ‘Abbaas (may Allaah be pleased with him), who said,

“I gave the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) Zamzam water to drink whilst he was standing,” (reported by al-Bukhaari, 3/492),
it is taken to mean that it is permissible to drink whilst standing, and the disapproval of doing so is understood to mean that it is makrooh.

The scholars also recommended that the person who drinks Zamzam water should sprinkle some of it on his head, face and chest, make lots of du’aa’ when drinking it, and to drink it for a purpose that will benefit him in this world or the next, because of the hadeeth in which the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said:

“The water of Zamzam is for whatever purpose it is drunk for.”
(Reported by Ibn Maajah, 2/1018; see Al-Maqaasid al-Hasanah by al-Sakhaawi, p. 359).


It was reported that when Ibn ‘Abbaas (may Allaah be pleased with him) drank from the water of Zamzam, he said:

“O Allaah, I ask you for beneficial knowledge, plentiful provision and healing from every disease.”

Al-Daynoori reported that al-Humaydi said: “We were with Sufyaan ibn ‘Uyaynah, and he told us the hadeeth about the water of Zamzam being drunk for whatever purpose it is drunk for. A man got up and left the gathering, then he came back and said, ‘O Abu Muhammad, is the hadeeth which you told us about the water of Zamzam saheeh?’ He said, ‘Yes.’ The man said, ‘Just now I drank a bucket of Zamzam so that you would tell me one hundred hadeeths.’ Sufyaan said, ‘Sit down,’ so he sat down and he told him one hundred hadeeths.”


Some fuqaha’ recommended that people should take some Zamzam water back with them to their countries, because it is a cure for those who seek healing.

‘Aa’ishah reported that she took Zamzam water home with her in bottles, and said,

“The Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon him) took some of it away with him, and he used to pour it on the sick and give it to them to drink.” (Reported by al-Tirmidhi, 4/37)
.

The fuqaha’ agreed that it is permissible to use Zamzam water to purify oneself, but they advised that it should not be used for any inappropriate purposes such as removing najaasah (impurity) and so on.

Al-‘Allaamah al-Bahooti (may Allaah have mercy on him) said in his book Kashshaaf al-Qinaa’: “Only this (using Zamzam water to remove najaasah) is considered to be makrooh, out of respect, but it is not makrooh to use it to purify oneself, because ‘Ali said:

‘The Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon him) departed (from Muzdalifah) and called for a bucket of Zamzam water. He drank from it, then did wudoo’. (Reported by ‘Abd-Allaah ibn Ahmad with a saheeh isnaad).” (See Nayl al-Awtaar, Kitaab al-Tahaarah, Baab Tahooriyyat al-Bahr).

Al-Haafiz al-Sakhaawi (may Allaah have mercy on him) said in Al-Maqaasid al-Hasanah:

“Some people said that the virtue (of Zamzam water) remains only so long as it is in its place (of origin), and that when it is taken away, it changes. This is an idea that has no basis. The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) wrote to Suhayl ibn ‘Amr: “If my letter reaches you at night, do not wait until morning, and if it reaches you during the day, do not wait until evening, to send me some Zamzam water.” He sent him two containers full, and at that time he was in Madeenah, before the Conquest of Makkah. This hadeeth is hasan because of corroborating evidence.

‘Aa’ishah also used to take Zamzam water away with her, and she reported that the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) used to do this; he used to carry it in small vessels and buckets, and pour it onto the sick and give it to them to drink.

Whenever a guest visited Ibn ‘Abbaas he would honour him by giving him Zamzam to drink. ‘Ata’ was asked about taking Zamzam water away, and he said: “The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him), al-Hasan and al-Husayn all took it away with them.”

And Allaah knows best.


(See: Fath al-Baari, 3/493; al-Mughni, 3/445; Nihaayat al-Muhtaaj, Shifa’ al-Gharaam bi Akhbaar al-Balad al-Haraam, by al-‘Iraaqi, 1/258)

Source :http://www.islamqa.com/en/ref/1698/zamzam

Monday, October 17, 2011

Penawar khusus dalam ayat suci Al Quran



SERATUS peratus menggunakan ayat-ayat suci al-Quran. Perubatan ini tidak menggunakan sebarang perantara seperti jin, syaitan, makhluk halus atau khadam,” tegas lelaki berwajah serius di Villa Bestari, Kampung Sungai Pusu Gombak, Selangor itu.
Namun, dia tenang dan mesra menerangkan konsep rawatan di premis yang dipenuhi orang ramai tersebut. Dalam pemerhatian Kosmo!, orang yang datang ke tempat itu sedang sabar menunggu giliran bertemu ahli terapi di pusat itu bagi sesi rawatan dan perubatan masing-masing.
“Ramai yang bertanya berkenaan hal-hal di sebalik cara rawatan. Sesungguhnya saya memang tidak berminat atau berhajat untuk berdamping dengan ‘benda-benda’ halus. Banyak masalah kalau berdamping dengan benda-benda yang ghaib ini,” tegas Perunding Kesihatan dan Terapis yang juga Pengarah Urusan Pusat Rawatan Islam Al-Hidayah, Lokman Abdul Hamid.

"Menurutnya, dalam Islam, komponen yang paling penting untuk berubat cara Islam adalah dengan memanfaatkan ayat suci al-Quran yang disertai dengan doa."

Dia yang lebih mesra dengan panggilan Haji Lokman, 52, berkata rangkaian ayat al-Quran yang berbeza-beza boleh digunakan bagi mengubati jenis-jenis penyakit tertentu.

Sudah berpengalaman lebih 12 tahun dalam bidang rawatan Islam, Lokman mengakui tidak pernah berguru dan tidak ada orang yang mengajarnya. Katanya, ilmu perubatan itu dianugerahkan oleh Allah SWT kepada dirinya.

Di pusat rawatan itu, kehadiran ratusan pesakit dalam sehari adalah perkara biasa. Tanpa membuat temu janji lebih awal, mungkin seseorang pesakit perlu menunggu lama.

Lokman berkongsi cerita, ketika dia berusia 40 tahun, dirinya terdetik untuk mencari sesuatu untuk mendekatkan diri dengan Allah. Pada ketika itu, dia banyak melakukan ibadah-ibadah sunat seperti puasa sunat, solat tahajud, solat taubat, membaca al-Quran setiap hari dan sentiasa berzikir.
“Paling jelas, setiap kali saya balik dari menunaikan ibadah haji atau umrah, ada merasakan peningkatan di dalam diri saya dari segi keimanan dan ilmu perubatan ini,” ujarnya jujur.
JENIS PENYAKIT





Menurut Lokman, di Al-Hidayah, para pesakit yang datang berjumpanya terdiri daripada 40 peratus pesakit kanser, 30 peratus sakit jantung, darah tinggi, urat saraf, sakit tulang belakang hepatitis dan 30 peratus yang mengalami gangguan sihir, santau rasuk, susuk serta saka.

Berdasarkan pengalaman bapa kepada lima orang anak itu, sesetengah pesakit yang datang tidak mengetahui penyakit yang dihidapi walaupun sudah menjalani rawatan di hospital. Hal itu memerlukannya mengenal pasti simptom penyakit menggunakan ilmu yang dianugerahkan Allah kepadanya.

“Kalau di hospital, doktor akan kenal pasti dengan menggunakan mesin dan peralatan canggih yang lain. Saya tidak menafikan kebolehan alat itu. Tetapi kadangkala, ada sesetengah penyakit yang tidak boleh dikenal pasti menggunakan mesin,” ujarnya yang memberi contoh sakit gangguan seperti sihir, iblis, jin atau lain-lain.

Bagi sakit fizikal pula, pesakit akan diperiksa dengan prosedur khas. Sekiranya pesakit itu menghidap barah, Lokman akan menerangkan kepada pesakit itu mengenai organ yang terjejas atau dijangkiti virus.
Sekali lagi menafikan penggunaan sebarang mantera, jampi serapah, tangkal mahupun buah limau seperti yang digunakan oleh bomoh atau dukun tertentu, anugerah yang dimilikinya itu adalah untuk membantu masalah kesihatan saudara seIslam yang meminta pertolongannya.

“Pernah juga pesakit bukan Islam datang berjumpa saya. Bukan tidak boleh, tetapi rawatan menjadi lebih mudah bagi pesakit Islam kerana mereka sendiri perlu membaca ayat al-Quran, memahami maksudnya, berdoa dan yakin kepada Allah.

“Mereka juga dinasihatkan untuk berwuduk, menutup aurat (bertelekung bagi pesakit wanita) dan ditemani ahli keluarga atau rakan.

Tambahnya, jika pesakit Islam itu tidak lancar membaca al-Quran, mereka boleh mengikut bacaan ibu, bapa, suami atau isteri dan juga melalui bantuan audio bacaan al-Quran.

Begitupun, para pesakit yang diberikan surah-surah untuk dibaca perlu membacanya dalam bahasa Arab. Jika membaca terjemahan ayat tersebut, ia tidak akan memberi kesan. Itulah kehebatan ayat al-Quran.

Lulusan University of New Haven, Connecticut dalam bidang Sarjana Pentadbiran Perniagaan (Kewangan) itu juga merendah diri dengan mengakui dirinya sekadar manusia biasa yang tidak mempunyai latar pendidikan dalam aliran keagamaan.

Lokman yang telah meninggalkan kerjaya selama 15 tahun di Suruhanjaya Sekuriti itu memberitahu, keikhlasan membantu orang yang memerlukan adalah sangat penting. Sama seperti orang lain, dia juga mencari rahmat dan keberkatan daripada Allah.

“Biarlah amalan itu kecil dan sedikit. Paling mustahak adalah ia perlu dilakukan secara berterusan dan bukan hanya sesekali atau mengikut mood,” katanya yang sebelum ini hanya merawat pesakit pada waktu malam hingga menyebabkan dia perlu berjaga sehingga pukul 4 atau 5 pagi.


TRANSFORMASI DIRI


Dalam pada itu, tugas Lokman di pusat rawatan itu turut dibantu pelakon Mohd. Ashraf Muslim, 30, dan Zulhaidi Ahmad, 38, yang telah dilatih menjadi perunding kesihatan dan juga pakar terapi.

Mengimbas kembali transformasi diri daripada seorang pelakon kepada pengamal perubatan Islam, Ashraf mengakui proses itu bukanlah sesuatu yang mudah.

“Ia satu penghijrahan diri, semua orang kena lalui. Proses perubahan itu menjadikan saya lebih kuat dan lebih arif memikirkan antara perkara salah dan betul. Walaupun sebelum ini saya ada duit, kerja, kereta, rumah dan kawan-kawan tetapi hati saya terasa kosong.

“Sampailah saya berjumpa Lokman ketika menemani adik saya berubat di tempat ini. Dia yang menasihatkan saya mendekatkan diri dengan Tuhan dengan sembahyang sunat taubat, sunat hajat dan pergi menunaikan umrah.

Menurut Ashraf, sekembalinya dari menunaikan umrah, dia berasa gembira dan tenang. Sejak itu dia mula dilatih untuk menjadi ahli terapi di Al-Hidayah.

Sementara itu, Zulhaidi pula sebelum ini, dia pernah membawa ayahnya, Ahmad Omar, 62, untuk berubat secara Islam selepas rawatan di hospital tidak lagi memberikan khabar gembira.

“Sejak 20 tahun lalu, ayah saya menghidap penyakit kencing manis. Kemudian selepas menjalani diagnosis susulan, buah pinggangnya pula didapati rosak. Jadi ayah perlu melakukan dialisis, tetapi doktor memberitahu proses itu boleh menjadikan jantungnya lemah. Jika diabaikan pula, buah pinggang akan bertambah rosak,” ujarnya.

Bimbang berlaku rantaian komplikasi seterusnya, Zulhaidi membawa ayahnya bertemu Lokman.
“Selepas berjumpa dan mendapat rawatan menggunakan surah-surah khusus, keadaan ayah saya bertambah baik. Doktor di Institut Jantung Negara (IJN) juga terkejut apabila mendapati hasil ujian pemeriksaan kesihatan ayah menunjukkan dia semakin pulih,” katanya yang nekad berhenti kerja sebagai Pengurus Senior bahagian teknologi maklumat (ICT) di sebuah syarikat swasta untuk berkhidmat di klinik Lokman.
Lulusan Teknologi Maklumat dari Universiti of Rhode Island, Amerika Syarikat itu kemudiannya mendalami ilmu agama dan berkhidmat bersama Lokman demi membantu merawat saudara Islam yang lain.

“Asalnya saya pun tidak lancar membaca Al-Quran dan tidak mempunyai kefahaman yang tinggi mengenai kandungannya, tetapi Alhamdullillah selepas belajar dengan ayah saya dan Lokman, saya kini boleh membantu orang lain,” katanya yang mengakui kehidupannya kini lebih tenteram.

TEMPAT TERBUKA



Dalam pada itu, menurut pendakwah bebas, Datuk Mohd. Daud Che Ngah, cara perubatan Islam yang sebenar seharusnya menggunakan ayat al-Quran sepenuhnya serta bahan-bahan yang tidak syirik seperti akar kayu dan buah-buahan daripada kayu seperti habatus sawda.

Tambah beliau, penggunaan bunga dan limau nipis juga tidak salah sekiranya ia diperlukan untuk sesetengah jenis penyakit.

Walau bagaimanapun beliau berkata, penggunaan bahan tersebut hanya sebagai sampingan kerana ayat al-Quran yang telah diturunkan Allah SWT dalam kitab suci adalah penawar terbaik.

Selain itu, rawatan yang dilakukan itu mestilah di tempat terbuka dan di hadapan orang ramai untuk mengelakkan timbulnya fitnah atau syak wasangka.

Mohd. Daud turut menerangkan bahawa ahli terapi cara Islam juga dibolehkan memegang pesakit bagi sesetengah penyakit yang memerlukan sentuhan seperti untuk mengenal pasti penyakit atau dirasuk jin.

Dalam kes seperti itu, ahli terapi perlu memegang pesakit untuk menarik jin itu keluar tetapi dengan izin muhram bagi pesakit perempuan.

Terang Mohd. Daud, firman Allah dalam surah al-Isra ayat 84 hingga 88 memberi maksud bahawa al-Quran bukanlah sekadar petunjuk dalam merencanakan kehidupan yang diredai malah turut menjadi penyembuh pelbagai penyakit manusia.

Oleh FARHANA HANIM MOHD. MYDIN
farhana.mydin@kosmo.com.my
http://www.kosmo.com.my/kosmo/content.asp?y=2011&dt=0511&pub=Kosmo&sec=Rencana_Utama&pg=ru_01.htm
Sumber :Haji Lokman
Laman web utama Haji LokmaN :Pusat Rawatan Islam(Syifa ) Al Hidayah

Monday, October 10, 2011

Khasiat Bawang Putih

Bawang putih termasuk dalam tumbuhan makanan manusia yang disebutkan dalam al Quran....dan tentunya mempunyai banyak khasiatnya...





Antara khasiat bawang putih juga diperjelaskan dalam artikel di bawah :

Rabu, 29/12/2010 13:18 WIB

Bawang Putih Baik untuk Orang Diabetes



img
(Foto: thinkstock)

Jakarta, Bawang putih selain sebagai penyedap masakan juga berfungsi sebagai obat herbal. Kandungan dalam bawang putih terbukti membantu mengatasi beberapa penyakit, termasuk juga bagi orang diabetes.

Diabetes melitus adalah penyakit kronik karena gangguan kerja dari insulin. Orang yang sudah terdiagnosa diabetes harus pandai-pandai mengontrol makanan yang ia konsumsi karena diabetes tidak bisa disembuhkan.

Bawang putih boleh menjadi salah satu makanan yang diutamakan untuk penderita diabetes. Bawang putih mengandung protein, vitamin A, B-1 dan C, juga terdiri dari mineral penting seperti kalsium (sesuai sebagai pencegah hipertensi), magnesium, kalium, besi dan selenium serta asid amino penting.

Dilansir Healthmad, Rabu (29/12/2010), lasuna atau ramuan herbal bawang putih mengandung bahan alami yang sangat membantu mengurangkan tingginya kadar gula darah dan juga mengatur tingkat gula berbahaya dalam tubuh.


Tingginya kadar gula dalam tubuh boleh mennimbulkan pelbagai komplikasi dan memburukkan lagi keadaan kesihatan pengidapnya , karena dapat menyebabkan berbagai penyakit mematikan, seperti kerusakan jantung, serangan jantung, kerusakan ginjal(buah pinggang) dan begitu banyak tambahan masalah dalam organ-organ tubuh.

Selain itu, bawang putih juga sangat membantu mengurangi tekanan darah tinggi dan mengendalikan gerakan aliran darah pada organ tubuh.

Bawang putih dapat menghentikan pembekuan darah di pembuluh darah tubuh. Lasuna juga dapat membantu kondisi yang berkaitan dengan berbagai masalah dari sistem pencernaan, tumor dan mengembangkan dan memelihara sistem kekebalan tubuh.


Tak hanya itu, daun pada bawang putih juga memiliki bahan alami yang dapat menghilangkan kandungan merkuri yang mematikan. Serta sangat baik untuk masalah seksual, pasokan energi dan juga menaikkan energi seksual.

Sumber: detikHealth

Honey kills Bacteria that resist antibiotics



A scientific study assures that Allah (SWT) supplied honey with natural antibiotics that kills dangerous microbes, let us read …

A new scientific study

A new scientific study has shown that honey has special characteristics that help to defend against germs. Honey also has high capability to resistbacteria that evolved their immune systems against standard medications.

Honey, in the old and modern era, has always been used as a natural medicine for many diseases. This new study might be a new twist to use honey for medical purposes.

According to the study that has been done through Sidney University in Australia, Dekarter, a scientific teacher in the biological and microbial science college says, "our research has shown that honey can replace many of the antibiotics that are used to treat cuts such as ointments and different creams. Also, using honey for healing purposes will increase the aging period of antibiotics. " She also adds: " most of the bacteria that cause infections in hospitals are at least resistance to one type of antibiotic, which means the need to produce new and stronger antibiotics that are able to execute bacteria that cause diseases."


Honey is a complicated compound that is consists of 800 molecules. This complication makes it difficult for scientists to fully understand the honey's mechanism of resisting and killing the bacteria. scientist Dekarter says: " until now, we have not found the method the honey apply to resist bacteria, but most likely there is the molecule "Methylglyoxal" ,which is part of the honey, that reacts with other molecules which we have not discovered yet, to become able to inhibit bacteria from multiplying and making new generations that have the ability to resist to antibiotics."

Doctor Rose Koper ,from the Health Science college of Wells University, has conducted a research regarding honey's activity against bacteria, and she wrote the book "Honey facing cuts". In her book, she says: “there are many factors that give honey the special healing characteristics, including high sugar level, low water level, and low acidity."

Honey is a healing for people

My beloved for the sake of Allah! These new studies that are discovered by scientists and amaze them are not as surprising for us, because Allah Almighty has mentioned honey in his book, and revealed a chapter and call it " An-Nahl" which mean Bees. Allah almighty says:”And your Lord inspired the bee, saying: " Take you habitations in the mountains and in the trees and in what they erect* Then, eat of all fruits, and follow the ways of your Lord made easy (for you)." There comes forth from their bellies, a drink of varying color wherein is healing for men. Verily, in this is indeed a sign for people who think" [An-Nahl 68-69].

In conclusion, we advise every sister and brother to always have honey available in their homes. Honey is useful for treating burns, cuts, pyorrhea and it, is good for skin, cold and virus infections. So, we must have honey and use it both for food and medicine; especially for children!

-----------------------

By: Abduldaem Al-Kaheel

www.kaheel7.com/eng

Sunday, October 9, 2011

HONEY -Quranic Superfood

Honey and treatment of stomach diseases

Honey is also composed of iron and manganese that help digestion and also have benefits for constipation, thoracentesis and stomach and duodenum injuries, so the patient should drink honey at half an hour before a meal or after a meal by (3) hours, and the patient get a better result if he/she drinks honey mixing with a glass of warm water and this is confirmed by the following famous scientists: F. Grigoriev, Muller, Dr. G. Ookiova, professor S. Manshcov, Dr. Khaldma and professor Khutlina that they had achieved an experiment on (600) patients, then it was found that the heal of stomach wounds is came from honey.

Also in the PHD thesis of Salm Najm, a professor of medicine at Al-Azhar, that was on honey and treatment of the digestive system. In the narration of (Abi Said Al-Khudri) who talked about our prophet (peace be upon him), when he said to a man (Give honey to your brother, then he said; God said the fact but your brother’s abdomen is lying). The experiment of Dr. Najm was done on (40) patients, who do not have the ability to digest food. After examination and experiment to those who suffered from injury of stomach, gases at the upper part of their abdomen, coma and vomiting, it was found that honey is a better treatment for these diseases, that Almighty God create it as healing for all diseases.


Honey and heart diseases

Honey is composed of

glucose, so its medical effect is clear on the muscles of heart. Scientists read this result in physiology conference in 1901.

The famous scientists (M. S. Julumb Drav) and others had clarified that drinking from 50 to 140 grams of honey every day for one or two months by people suffering from heart diseases leads to treatment.

Blood is back to its normal case and hemoglobin is increased also increasing the strength of the circulatory system.

After experiments that are carried out by (Aburin Shila) and other scientists, it was found that honey is the optimal treatment for heart failure disease and expands the blood vessels and increases heart fluid.

(Ibn Sina) spoke about honey, said that drinking honey juice with pomegranate every day leads to treat heart problems.


Honey and diabetes

When the pancreas fails to produce enough insulin as needed by the body

, this show

s that the

body does not

benefit from enough sugar for the b

ody, so excess sugar remains in the body that gets out through the urine.

Diabetes is happened by eating sweets and some other reasons, including:

1. Psychological explanations (as obsession).

2. Worry causes of this disease.

3. Psychological and physical fatigue.

4. Eat sweets in a high ratio.

The patients suffering from diabetes must drink honey as follow:

1. Tablespoon of original honey + a glass of milk before breakfast.

2. Drinking pure honey with pieces of dry bread, in condition salads consisted of tomato and onion that must be eaten, too.

source :shifayquran.net


Islamic Cures(Ruqyah) مرض روحية الرقية الشرعية

A brief information about how to perform ruqyah and deal with problems like jinns,black magic and evil eye..


'Scan' Gangguan Dalam Diri Anda




untuk full version :

Bacaan Ruqyah Syariyyah (full version)


artikel berkait :

Petunjuk Pelaksanaan Ruqyah Syar'iyyah

Saturday, October 8, 2011

BACAAN Ruqyah Syar'iyyah Penawar & Perisai Daripada Gangguan Jin





Ayat-ayat dan surah- surah yg dibaca sebagai Ruqyah

1.Al-Fatihah
2 Al-Baqarah ayat 1-5
3 Al-Baqarah ayat 102
4 Al-Baqarah 163-164
5 Al-Baqarah (Ayatul Kursi)
6 Al-Baqarah ayat 285-286
7 Ali-Imran ayat 18-19
8 Al-'Araf ayat 54-56
9 Al-'Araf ayat 117-122
10 Yunus ayat 81-82
11 Toha 69
12 Al-Mukminun ayat 115-118
13 As-Soffaat ayat 1-10
14 Al-Ahqaaf ayat 29-32
15 Ar-Rahman ayat 33-36
16 Al-Hasyrayat 21-24
17 Al-Jin ayat 1-9
18 Al-Ikhlas
19 An-Naas

artikel berkait : tata-cara-pengobatan-rasulullah

Sunday, September 18, 2011

Bacaan Ayat Ruqyah Untuk Halau Jin Dan Iblis Dalam Rumah


Pasang dengan menggunakan cd atau pun komputer anda bacaan ayat-ayat dan Surah-surah ini dalam rumah nescaya ganguan ganguan jin dan iblis akan hilang pada malam yang dipasang dengan ayat ini (InsyaAllah) :

1. Bacaan surah surah ayat Ruqyah saperti berikut( download ) dan pasang didalam rumah,

1.Al-Fatihah
2 Al-Baqarah ayat 1-5
3 Al-Baqarah ayat 102
4 Al-Baqarah 163-164
5 Al-Baqarah (Ayatul Kursi)
6 Al-Baqarah ayat 285-286
7 Ali-Imran ayat 18-19
8 Al-'Araf ayat 54-56
9 Al-'Araf ayat 117-122
10 Yunus ayat 81-82
11 Toha 69
12 Al-Mukminun ayat 115-118
13 As-Soffaat ayat 1-10
14 Al-Ahqaaf ayat 29-32
15 Ar-Rahman ayat 33-36
16 Al-Hasyrayat 21-24
17 Al-Jin ayat 1-9
18 Al-Ikhlas
19 An-Naas



ATAU

2. Pasang cd atau kaset bacaan surah albaqarah sepanjang malam dirumah nescaya ganguan jin atau iblis akan hilang.

Sumber :http://serupamulo.blogspot.com/2010/11/bacaan-ayat-ruqyah-untuk-halau-jin-dan.html

Thursday, September 15, 2011

Ayat -ayat Ruqyah Asas

Asas Ayat Ruqyah (doa penyembuh berdasarkan ayat-ayat al Quran)

1.Surah Al-Fatihah ( ayat 1-7 )
2.Surah Al-Baqarah ( ayat 1-5 )
3.Surah Al-Baqarah ( ayat 102 ) di ulangi sebanyak 7 kali.
4.Surah Al-Baqarah ( ayat 163-164 )
5.Surah Al-Baqarah ( ayat 255 )
6.Surah Al-Baqarah ( ayat 285-286 )
7.Surah Al-'Imran ( ayat 18-19 )
8.Surah Al-A'raf ( ayat 54-56 )
9.Surah Al-A'raf ( ayat 117-122 ) di ulangi sebanyak 7 kali.
10.Surah Al-A'raf ( ayat 120 ) di ulangi sebanyak 30 kali secara bersendirian
11.Surah Yunus ( ayat 81-82 ) di ulangi sebanyak 7 kali
12.Kemudian baca ayat ini:-
إِنَّ اللّهَ سَيُبْطِلُهُ (Sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenarannya)
13. Surah Thaha ( ayat 69 ) di ulangi sebanyak 7 kali
14. Surah Al-Mukminin ( ayat 115-118 )
15. Surah As-Shaffat ( ayat 1-10 )
16. Surah Al-Ahqaf ( ayat 29-32 )
17. Kemudian baca ayat ini sebanyak 7 kali:-
يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ
18. Surah Ar-Rahman ( ayat 33-36 )
19. Surah Al-Hasyr ( ayat 21-24 )
20. Surah Al-Jin ( ayat 1-9 )
21. Surah A1-Ikhlas ( ayat 1-4 )
22. Surah Al-Falaq ( ayat 1-5 ) di ulangi sebanyak 9 kali
23. Surah An-Nas ( ayat 1-6 )

Sunday, September 4, 2011

Pembedahan Batin

Pendirian Liqa' Asatizah berkenaan pembedahan batin.

Selepas meneliti unsur-unsur yang terdapat dalam pembedahan batin yang diamalkan sesetengah perawat seperti membedah tubuh badan dengan tangan kosong atau tanpa peralatan moden, membetulkan tulang tanpa sentuhan fizikal, menggunakan peralatan ghaib, pengubatan jarak jauh dan seumpamanya, dapat disimpulkan seperti berikut :


1)      Pembedahan batin adalah suatu hakikat yang kabur kerana tidak boleh dibuktikan dengan naql, aql dan sains.

2)      Pembedahan batin tidak mempunyai sandaran hukum daripada Kitab dan Sunnah Nabi SAW mahupun amalan salafussoleh.

3)      Hujah mengaitkan pembedahan batin dgn pembelahan dada Nabi SAW sebelum diangkat menjadi nabi dan Isra' adalah batil kerana perkara tersebut adalah irhas/mu'jizat yg tidak boleh dikiaskan kepada bukan nabi.

4)      Pembedahan batin telah diamalkan dalam agama lain dengan begitu berleluasa seperti Kristian atas nama spiritual healing, psychic surgery @ operation, jirahah gharbiyyah atau jirahah ruhaniyyah. Ini menunjukkan, Islam, iman dan taqwa bukanlah syarat utama pembedahan batin boleh dilakukan seperti dakwaan sesetengah pihak.

5)      Tokoh-tokoh awal perubatan alopati Islam seperti Ibn Sina, al-Zahrawi, Ibn al-Haytham, al-Razi, Ibn Rusyd dll menunjukkan perubatan moden adalah sebahagian daripada perubatan Islam[*](bukan sahaja al-tibb al-nabawi) sekaligus menafikan jenis-jenis perubatan yang mencarik adat.

6)       Pembedahan batin diyakini menggunakan khidmat jin @ qarin yang dikhuatiri boleh membawa kepada syirik berdasarkan nas-nas al-Qur'an dalam surah al-Jin ayat 6 dan surah al-Zukhruf ayat 36.

7)       Pembedahan batin termasuk perkara mencarik adat yang mampu dipelajari dan boleh dilakukan secara berterusan, ini menunjukkan ia bukan karamah atau ma'unah sebaliknya lebih dekat kepada unsur-unsur sihir dan sya'wazah.

8)      Masyarakat Islam dinasihatkan meninggalkan rawatan syubhah seperti pembedahan batin dan kembali kepada al-tibb al-nabawi spt menggunakan ayat-ayat syifa', doa ma'thur dll atau kembali kepada perubatan alopati (moden) yang tidak bercanggah dengan hukum syara'.

21 Julai 2011.

Ahli liqa':
Ustaz Dr Zulkifli Mohamad Al-Bakri (Mursyid Liqa)
Ustaz Dr. Zaharuddin Abd Rahman (Pengerusi/ Moderator)
Ustaz Dr Abdul Basit Abdul Rahman,
Ustaz Dr Zahazan Muhammed,
Ustaz Hj Mohammad Nidzam Abdul Kadir,
Ustaz Hj Aizam Mas’ud,
Ustaz Hj Hasrizal Abdul Jamil,
Ustaz Dr. Khairuddin Aman Razali,
Ustaz Imam Muda Asyraf Mohd Ridzuan, (Tidak Hadir)
Ustaz Ramadhan Fitri Elias, (Tidak hadir)
Ustaz Dr. Maszlee Malik,
Ustaz Dr.Ahmad Wifaq Mokhtar,
Ustaz Syed Mohd Norhisyam
Ustaz Zamri Zainuldin 'Mantop'
Ustaz Abdullah Bukhari Al-hafiz
Ustaz Ahmad Husni Abd Rahman
Ustaz Shauqi Othman
Disahkan dalam liqa' pada 18 Ramadhan 1432.
Sumber asal:

Thursday, August 25, 2011

Tata Cara Pengobatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam



Setiap Penyakit Pasti Memiliki Obat..

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Hadits Riwayat Muslim)

Menelusuri Ruqyah Syar’iyyah

Merunut sejarahnya, ruqyah merupakan salah satu metode pengobatan yang cukup tua di muka bumi ini. Dengan datangnya Islam, metode ini kemudian disesuaikan dengan nafas dan tata cara yang sesuai syariat.

Ada akibat tentu dengan sebab. Yang demikian merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlaku di jagad raya ini. Memang ini tidak mutlak terjadi pada seluruh perkara. Namun mayoritas urusan makhluk tak lepas dari hukum sebab dan akibat. Hukum ini merupakan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lengkap dengan kebaikan. Makhluk mana pun tak bisa menggapai keinginannya kecuali dengan hukum sebab dan akibat. Di alam nyata ini, tak ada sebab yang sempurna dan bisa melahirkan akibat dengan sendirinya kecuali kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan sebab bagi segala sebab. Kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kekuatan yang selalu menuntut (memunculkan) akibat. Tak satu sebab pun bisa melahirkan akibat dengan sendirinya, melainkan harus disertai sebab yang lain yaitu kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan pada sebagian sebab, hal-hal yang dapat menggagalkan akibatnya. Adapun kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak membutuhkan sebab yang lain kecuali kehendak-Nya itu sendiri.

Tak ada sebab apapun yang dapat melawan dan membatalkannya. Namun terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala membatalkan hukum kehendak-Nya dengan kehendak-Nya (yang lain). Dialah yang menghendaki sesuatu lalu menghendaki lawan yang bisa mencegah terjadinya. Inilah sebab mengapa seorang hamba wajib memasrahkan dirinya, takut, berharap, dan berkeinginan hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengucapkan dalam doanya:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرَضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمَعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan pemeliharaan-Mu dari siksa-Mu. Dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ

Tak ada tempat selamat dari Dzat-Mu kecuali kepada Dzat-Mu.” (HR. Muslim)


Di antara sekian akibat yang membutuhkan sebab adalah kesembuhan. Kesembuhan datang dengan sebab berobat. Namun, apakah setiap orang yang berobat pasti sembuh? Jawabannya tentu tidak. Karena kesembuhan itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan dari obat atau orang yang mengobati. Obat akan manjur dan mengantarkan kepada kesembuhan bila Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Karena itu, seorang yang berobat tidak boleh menyandarkan dirinya kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan kepada obat dan orang yang mengobati.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memaparkan perihal berobat dalam beberapa haditsnya. Di antaranya:


1. Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ

Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486)

4. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)

Dalam berobat, banyak cara yang bisa ditempuh asalkan tidak melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat dan meninggalkannya. Tentunya perselisihan mereka berangkat dari perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang ada dalam permasalahan ini. Terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama dalam menentukan hukum berobat.

Pertama, menurut sebagian ulama bahwa berobat diperbolehkan, namun yang lebih utama tidak berobat. Ini merupakan madzhab yang masyhur dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu.

Kedua, menurut sebagian ulama bahwa berobat adalah perkara yang disunnahkan. Ini merupakan pendapat para ulama pengikut madzhab Asy-Syafi’i rahimahullahu. Bahkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim menisbahkan pendapat ini kepada madzhab mayoritas para ulama terdahulu dan belakangan. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Muzhaffar. Beliau berkata: “Menurut madzhab Abu Hanifah, berobat adalah perkara yang sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati wajib.”

Ketiga, menurut sebagian ulama bahwa berobat dan meninggalkannya sama saja, tidak ada yang lebih utama. Ini merupakan madzhab Al-Imam Malik rahimahullahu. Beliau berkata: “Berobat adalah perkara yang tidak mengapa. Demikian pula meninggalkannya.” (Lihat Fathul Majid, hal. 88-89)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memiliki metode yang cukup baik dalam mempertemukan beberapa pendapat di atas. Beliau merinci hukum berobat menjadi beberapa keadaan, sebagai berikut:

1. Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan, maka hukumnya wajib.

2. Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat, namun meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti, maka melakukannya lebih utama.

3. Bila dengan berobat diperkirakan kadar kemungkinan antara kesembuhan dan kebinasaannya sama, maka meninggalkannya lebih utama agar dia tidak melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa disadari. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 2/437)

Secara garis besar, berobat merupakan perkara yang disyariatkan selama tidak menggunakan sesuatu yang haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu ‘anhu)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيْثِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari obat yang buruk (haram).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Ibnu Majah, 2/255) [Lihat kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im karya Dr. Fahd As-Suhaimi, hal. 21)

Di antara cara pengobatan yang disyariatkan adalah melakukan ruqyah. Akhir-akhir ini, pengobatan dengan ruqyah memang marak diperbincangkan dan dipraktekkan di tengah kaum muslimin negeri ini. Padahal sebelumnya pengobatan dengan ruqyah tidak banyak diketahui oleh mereka.

Sayangnya, sebagian kelompok menjadikan ruqyah sebagai arena untuk mengundang simpati publik demi kepentingan yang bernuansa politik. Mereka beramai-ramai membuka ruqyah center di berbagai tempat guna memenuhi kebutuhan massa yang ‘haus’ akan pengobatan ruqyah. Namun sudahkah praktek ruqyah itu mencocoki tuntunan syariat Islam? Pertanyaan ini harus dijawab dengan ilmu yang benar, bukan dengan semangat belaka.

Oleh karena itu perlu pembekalan ilmu yang dapat mengenalkan kaum muslimin kepada ruqyah syar’i yang tepat sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sehingga mereka terhindar dari praktek-praktek ruqyah yang salah kaprah bahkan bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karena itu, marilah kita simak beberapa pembahasan berikut ini.

Definisi Ruqyah

Makna ruqyah secara terminologi adalah al-‘udzah (sebuah perlindungan) yang digunakan untuk melindungi orang yang terkena penyakit, seperti panas karena disengat binatang, kesurupan, dan yang lainnya. (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits karya Ibnul Atsir rahimahullahu 3/254)

Secara terminologi, ruqyah juga disebut pula dengan ‘azimah. Al-Fairuz Abadi berkata: “Yang dimaksud ‘azimah-‘azimah adalah ruqyah-ruqyah. Sedangkan ruqyah yaitu ayat-ayat Al-Qur`an yang dibacakan terhadap orang-orang yang terkena berbagai penyakit dengan mengharap kesembuhan.” (Lihat Al-Qamus Al-Muhith pada materi عزم)

Adapun makna ruqyah secara etimologi syariat adalah doa dan bacaan-bacaan yang mengandung permintaan tolong dan perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mencegah atau mengangkat bala/penyakit.

Terkadang doa atau bacaan itu disertai dengan sebuah tiupan dari mulut ke kedua telapak tangan atau anggota tubuh orang yang meruqyah atau yang diruqyah. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh yang berjudul Ar-Ruqa wa Ahkamuha oleh Salim Al-Jaza`iri, hal. 4)

Tentunya ruqyah yang paling utama adalah doa dan bacaan yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Ibid, hal. 5)


Ruqyah di Masa Jahiliyyah

Setiap manusia yang mengerti kemaslahatan tentunya selalu ingin menjaga kesehatan tubuh dan jiwanya. Barangsiapa bisa memenuhi keinginan ini berarti karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dirinya cukup besar. Sehingga wajar jika pengobatan ruqyah telah dikenal secara luas di tengah masyarakat jahiliyyah.

Ruqyah adalah salah satu cara pengobatan yang mereka yakini dapat menyembuhkan penyakit dan menjaga kesehatan. Kala itu, ruqyah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, seperti tersengat binatang berbisa, terkena sihir, kekuatan ‘ain (mata jahat), dan lainnya.

Namun yang disayangkan, ruqyah sering menjadi media untuk penyebarluasan berbagai kesyirikan di kalangan mereka. Pengobatan ruqyah yang dilakukan tak luput dari pelanggaran syariat. Di antaranya adalah pengakuan mengetahui perkara ghaib, menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyandarkan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlindung kepada jin, dan lain-lain.

Setelah Islam datang, seluruh ruqyah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali yang tidak mengandung kesyirikan. Islam mengajarkan kaum muslimin untuk berhati-hati dalam menggunakan ruqyah. Sehingga mereka tidak terjatuh ke dalam pengobatan ruqyah yang mengandung bid’ah atau syirik.

‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:

كُنَّ نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’ Beliau menjawab: ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim no. 2200)

Kebanyakan manusia terpedaya dengan penampilan ‘shalih’ dari orang yang meruqyah. Sehingga mereka tak lagi memperhatikan tata cara dan isi ruqyah yang dibacakan.

Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh hafizhahullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya) berkata: “Penyebaran kesyirikan banyak terjadi di negeri-negeri Islam melalui para tabib, orang yang mengobati dengan ramu-ramuan dan mengobati dengan Al-Qur`an. Ibnu Bisyr menyebutkan pada permulaan Tarikh Najd, di antara faktor penyebab tersebarnya kesyirikan di negeri Najd adalah keberadaan para tabib dan ahli pengobatan dari orang-orang Badwi di berbagai kampung sewaktu musim buah. Manusia membutuhkan mereka untuk keperluan meruqyah dan pengobatan. Maka mereka memerintahkan manusia dengan kesyirikan dan cara-cara yang tidak disyariatkan….” (Ibid, hal. 2)

Hukum Ruqyah

Ruqyah telah dikenal oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Islam. Tetapi kebanyakan ruqyah mereka mengandung kesyirikan. Padahal Islam datang untuk mengenyahkan segala bentuk kesyirikan. Alasan inilah yang membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para shahabat radhiallahu ‘anhum untuk melakukan ruqyah. Kemudian beliau membolehkannya selama tidak mengandung kesyirikan. Beberapa hadits telah menjelaskan kepada kita tentang fenomena di atas. Di antaranya:

1. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani juga menshahihkannya. Lihat Ash-Shahihah no. 331)

2. Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

كُنَّ نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?” Beliau menjawab: “Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim no. 2200)

3. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَعَرَضُوْهَا عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah. Lalu keluarga ‘Amr bin Hazm datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu memiliki ruqyah yang kami pakai untuk meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Tetapi engkau telah melarang dari semua ruqyah.” Mereka lalu menunjukkan ruqyah itu kepada beliau. Beliau bersabda: “Tidak mengapa, barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)

4. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

كَانَ لِيْ خَالٌ يَرْقِي عَنِ الْعَقْرَبِ، فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَأَتَاهُ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى وَأَنَا أَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ, فَقَالَ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

Dahulu pamanku meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah. Maka pamanku mendatangi beliau, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau melarang dari segala ruqyah, dan dahulu aku meruqyah karena (sengatan) kalajengking.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)

5. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

كُنْتُ أَرْقِي مِنْ حُمَةِ الْعَيْنِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَلَمَّا أَسْلَمْتُ ذَكَرْتُهَا لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اعْرِضْهَا عَلَيَّ. فَعَرَضْتُهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: ارْقِ بِهَا فَلاَ بَأْسَ بِهَا

Di masa jahiliyyah dulu aku meruqyah karena (sengatan) kalajengking dan ‘ain (sorotan mata yang jahat). Tatkala aku masuk Islam, aku memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Perlihatkan ruqyah itu kepadaku!’ Lalu aku menunjukkannya kepada beliau. Beliau pun bersabda: ‘Pakailah untuk meruqyah, karena tidak mengapa (engkau) menggunakannya’.” (HR. At-Thabrani dan dihasankan oleh Al-Haitsaimi dalam Majma’ Az-Zawa`id. Lihat tahqiq Al-Huwaini terhadap kitab Al-Amradh karya Dhiya`uddin Al-Maqdisi, hal. 220)

6. Dari Syifa` bintu Abdullah radhiallahu ‘anha:

أَنَّهَا كَانَتْ تُرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ اْلإِسْلاَمُ، قَالَتْ: لاَ أَرْقِي حَتَّى اسْتَأْذَنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَيْتُهُ فَاسْتَأْذَنْتُهُ. فَقَالَ عَنْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ارْقِي مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهَا شِرْكٌ

Dahulu dia meruqyah di masa jahiliyyah. Setelah kedatangan Islam, maka dia berkata: ‘Aku tidak meruqyah hingga aku meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu dia pun pergi menemui dan meminta izin kepada beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Silahkan engkau meruqyah selama tidak mengandung perbuatan syirik’.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan yang lainnya. Al-Huwaini berkata: “Sanadnya muqarib.” Ibid, hal. 220)

Demikianlah mereka melakukan ruqyah di masa jahiliyyah. Ruqyah mereka mengandung perbuatan syirik sehingga dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau membolehkannya bagi mereka selama tidak mengandung kesyirikan. Beliau membolehkannya karena ruqyah itu bermanfaat bagi mereka dalam banyak hal.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata:

Hadits-hadits sebelumnya menunjukkan bahwa hukum asal seluruh ruqyah adalah dilarang, sebagaimana yang tampak dari ucapannya: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah.’ Larangan terhadap segala ruqyah itu berlaku secara mutlak. Karena di masa jahiliyyah mereka meruqyah dengan ruqyah-ruqyah yang syirik dan tidak dipahami. Mereka meyakini bahwa ruqyah-ruqyah itu berpengaruh dengan sendirinya. Ketika mereka masuk Islam dan hilang dari diri mereka yang demikian itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dari ruqyah secara umum agar lebih mantap larangannya dan lebih menutup jalan (menuju syirik). Selanjutnya ketika mereka bertanya dan mengabarkan kepada beliau bahwa mereka mendapat manfaat dengan ruqyah-ruqyah itu, beliau memberi keringanan sebagiannya bagi mereka. Beliau bersabda: ‘Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa menggunakan ruqyah-ruqyah selama tidak mengandung syirik’.” (Ahkamur Ruqa wa At-Tama`im hal. 35)

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ

Tidak ada ruqyah kecuali karena ‘ain (sorotan mata yang jahat) atau humah (sengatan kalajengking).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah dari shahabat ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu)

Menurut sebagian pendapat bahwa ruqyah tidak diperbolehkan kecuali karena dua hal yang telah disebutkan dalam hadits di atas. (Lihat Fathul Bari, 10/237, cetakan Darul Hadits)

Ini adalah pendapat yang lemah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan sabdanya tersebut untuk melarang ruqyah pada yang selain keduanya. Yang beliau maksudkan bahwa ruqyah yang paling utama dan bermanfaat adalah ruqyah yang disebabkan karena ‘ain atau humah. Hal ini terlihat dari uraian hadits. Ketika Sahl bin Hunaif terkena ‘ain, dia bertanya: “Adakah yang lebih baik dalam ruqyah?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ نَفْسٍ أَوْ حُمَةٍ

Tidak ada ruqyah kecuali karena satu jiwa dan humah (sengatan kalajengking).

Demikian pula hadits-hadits yang lain, baik yang bersifat umum atau khusus, seluruhnya mengarah kepada makna di atas. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/161, cet. Muassasah Ar-Risalah)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Para ulama berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan untuk membatasi ruqyah hanya pada keduanya dan melarang dari selain keduanya. Yang beliau maksudkan adalah tidak ada ruqyah yang lebih benar dan utama daripada ruqyah karena ‘ain dan hummah karena bahaya keduanya sangat dahsyat.” (Syarh Shahih Muslim 14/177, cet. Al-Maktab Ats-Tsaqafi)


Syarat-syarat Ruqyah

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang bolehnya ruqyah ketika terpenuhi tiga syarat:

1. Menggunakan Kalamullah atau nama-nama dan sifat-Nya.

2. Menggunakan lisan (bahasa) Arab atau yang selainnya, selama maknanya diketahui.

3. Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan sebab Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mereka berselisih mengenai tiga hal di atas bila dijadikan sebagai syarat. Yang kuat adalah pendapat yang mengharuskan untuk memenuhi tiga syarat yang disebutkan.” (Fathul Bari, 10/237)

Dengan penjelasan di atas, berarti segala ruqyah yang tidak memenuhi tiga syarat itu tidak diperbolehkan. Jika kita perincikan, ada tiga jenis ruqyah yang tidak diperbolehkan:

1. Ruqyah yang mengandung permohonan bantuan dan perlindungan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ruqyah-ruqyah seperti ini sering dipakai oleh para dukun, tukang sihir, dan paranormal. Mereka memohon bantuan dan perlindungan dengan menyebut nama-nama jin, malaikat, nabi, dan orang shalih. Terkadang mereka melakukan kesyirikan ini dengan kedok agama. Banyak orang awam yang terkecoh dengan penampilan sebagian mereka yang memakai atribut agama. Padahal ruqyah yang mereka lakukan dan ajarkan berbau mistik serta sarat dengan kesyirikan.

2. Ruqyah dengan bahasa ‘ajam (non Arab) atau sesuatu yang tidak dipahami maknanya.

Mayoritas ruqyah yang berbahasa ‘ajam mengandung penyebutan nama-nama jin, permintaan tolong kepada mereka, dan sumpah dengan nama orang yang mengagungkannya. Oleh karena itu, para setan segera menyambut dan menaati orang yang membacanya. Keumuman ruqyah yang tersebar di tengah manusia dan tidak menggunakan bahasa Arab banyak mengandung syirik. Demikian yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19/13-16)

Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakami berkata: “Adapun ruqyah yang tidak memakai lafadz-lafadz Arab, tidak diketahui maknanya, tidak masyhur, dan tidak didapatkan dalam syariat sama sekali, maka bukanlah perkara yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidaklah berada dalam naungan Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan hal itu merupakan bisikan setan kepada para walinya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ

Dan sesungguhnya para setan mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian.” (Al-An’am: 121)

Ruqyah semacam inilah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.”

Hal itu karena orang yang mengucapkannya tidak mengetahui apakah ruqyahnya menggunakan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, atau para setan. Dia pun tidak mengetahui apakah di dalamnya terdapat kekafiran atau keimanan, kebenaran atau kebatilan, kemanfaatan atau marabahaya, dan apakah itu ruqyah atau sihir. Demi Allah, mayoritas manusia benar-benar tenggelam dalam berbagai malapetaka ini. Mereka menggunakannya dengan bentuk yang cukup banyak dan jenis yang beraneka ragam….” (Ma’arijul Qabul, 1/406, cet. Darul Hadits)


Sebagian kalangan membolehkan setiap ruqyah, walaupun maknanya tidak diketahui, asalkan terbukti memberi kemanfaatan. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga ‘Amr bin Hazm sewaktu mereka bertanya tentang ruqyah:

مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

Aku lihat tidak mengapa. Barangsiapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya hendaklah dia lakukan.

Tetapi pendapat mereka ini terbantah dengan hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i. Dia meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa kalian menggunakan ruqyah-ruqyah itu selama tidak mengandung syirik”.

Hadits ‘Auf ini menunjukkan dilarangnya seluruh ruqyah yang mengarah kepada kesyirikan. Setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya, tidak dirasa aman, akan membawa kepada syirik. Sehingga setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya dilarang dalam rangka berhati-hati. (Lihat Fathul Baari, 10/237)

3. Ruqyah yang diyakini bahwa pelakunya bisa menyembuhkan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tentu yang demikian ini bertentangan dengan ajaran tauhid. Karena ruqyah merupakan sebab, berarti pelaku ruqyah adalah pelaku sebab. Peruqyah ibarat dokter, sedangkan ruqyah ibarat obat. Obat adalah sebab dan dokter adalah pelaku sebab. Adapun pencipta sebab adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu sebab akan bermanfaat jika dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dahulu bangsa jahiliyah meyakini bahwa ruqyah dipastikan berpengaruh dengan sendirinya. Oleh karena itu mereka sangat mengagungkan ruqyah dan pelakunya. Ini merupakan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang hamba diperintahkan untuk menjalani sebab untuk mendapatkan akibat. Namun hatinya tidak boleh bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Pencipta segala sebab dan akibat. Di tangan-Nya seluruh kekuasaan langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلاَ مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلاَ مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.” (Fathir: 2)

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ

Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (Al-An’am: 17)

Seorang hamba hendaknya mengharapkan kesembuhan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hanya bergantung kepada-Nya tatkala melakukan ruqyah.


Sifat-sifat Peruqyah dan Pasiennya

Ruqyah merupakan perkara yang disyariatkan. Tentunya seorang peruqyah perlu memperhatikan rambu-rambu syariat dalam meruqyah. Sehingga dia tidak ngawur dan melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaknya dia memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap ucapan dan perbuatannya.

Semestinya dia bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh ibadahnya tanpa sedikit pun berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika meruqyah, hendaknya mengikhlaskan permintaan tolong dan perlindungannya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menggapai kemanfaatan dari ruqyah yang dia lakukan.

b. Memiliki ilmu syar’i tentang ruqyahnya.

Seharusnya dia mengetahui bahwa ruqyah yang digunakannya termasuk yang disyariatkan. Hendaknya dia mengambil ruqyahnya dari Al-Qur`an, As-Sunnah, dan doa-doa yang ma’ruf. Jika dia tidak mengetahui ruqyahnya disyariatkan atau tidak, semestinya bertanya kepada orang yang berilmu. Bila dia seorang yang bodoh, bukan ahlul ilmi, dan tidak mampu untuk menelaah ruqyah yang digunakan atau ditinggalkannya, berarti ini merupakan tanda bahwa dia tidak bisa. Dia tidak diperbolehkan bahkan tidak pantas diberi kesempatan untuk meruqyah.

c. Bertujuan untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain.

Sudah seharusnya dia bertujuan dengan ruqyahnya itu untuk memberi kemanfaatan kepada saudaranya yang membutuhkan. Ini adalah sifat yang mulia dan dianjurkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya maka hendaknya dia lakukan.”

Memberi kemanfaatan kepada saudara kita yang membutuhkan atau sakit adalah perbuatan baik, yang sangat dituntut sesama hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hamba yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang yang paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya.

d. Membuat orang yang diruqyah hanya bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bila meruqyah, seharusnya dia tidak membuat orang yang diruqyah bergantung kepada dirinya. Jika dia telah sering meruqyah orang lain sampai sembuh, maka tidak perlu dia menceritakannya kepada yang akan diruqyah, sehingga tidak menimbulkan keyakinan yang salah terhadap dirinya. Sepantasnya dia menanamkan kepada orang yang akan diruqyah bahwa yang mampu menyembuhkan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Adapun ruqyah adalah sebab, demikian pula dirinya bukan pencipta akibat. Namun sangat disayangkan, kebanyakan peruqyah membuat orang yang diruqyah merasa yakin terhadap dirinya seolah-olah dialah yang menyembuhkan. Dalam hal ini korban yang paling banyak adalah para wanita dan orang-orang yang bodoh.

e. Khusyu’, tunduk, dan merendahkan diri hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah kelanjutan dari pembahasan yang sebelumnya. Seharusnya dia tidak membesar-besarkan dirinya di hadapan orang yang akan diruqyah. Sebagaimana dia juga tidak merasa besar terhadap dirinya sendiri. Niatnya adalah memberi kemanfaatan kepada orang lain dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan untuk merasa besar dan membesar-besarkan diri. Sehingga dia tidak membuat manusia bergantung kepada dirinya, tetapi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan dzikir dan wirid-wirid yang disyariatkan di dalam As-Sunnah.

f. Menghindarkan diri dari celah-celah dosa dan fitnah.

Seharusnya dia tidak mengikuti langkah-langkah setan yang bisa menggelincirkannya ke dalam kubangan dosa dengan alasan ruqyah. Terlebih lagi bila yang diruqyah adalah wanita. Seringkali setan menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan peruqyah ke dalam dosa. Misalnya, setan menggodanya untuk berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang diruqyah padahal bukan mahramnya. Atau menggodanya untuk menyentuh bagian tubuh wanita itu dengan tangannya, dengan alasan agar ruqyahnya lebih manjur, dsb. Oleh karena itu, banyak dari kalangan peruqyah yang rusak agamanya setelah terlibat dalam dunia ruqyah. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus-Syaikh hal. 7-8)

Insya Allah nanti akan kita jelaskan praktek-praktek ruqyah yang menyimpang supaya kaum muslimin tidak mudah diperdaya oleh para peruqyah gadungan yang melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun orang yang diruqyah hendaknya memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Memperbesar harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam meminta pertolongan dan perlindungan.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يَرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيْبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Jika Allah menimpakan kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (Yunus: 107)

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ

Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 17-18)

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ

Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80)

b. Meninggalkan rasa was-was.

Seharusnya dia tidak mengikuti rasa was-was yang muncul pada dirinya, karena hal itu berasal dari setan. Bila dia larut dalam rasa was-was itu, justru secara tidak langsung dia telah membantu setan untuk lebih menguasai dirinya. Karena itulah kita melihat kebanyakan orang yang tertimpa oleh penyakit was-was gampang dimasuki oleh jin atau terkena penyakit lainnya.

Di samping itu, orang yang dihantui perasaan was-was akan membayangkan hal-hal yang bersifat halusinasi, sehingga dia akan semakin lemah dan bertambah penyakitnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Maka wajib atas orang yang memiliki was-was untuk memperkuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalani berbagai sebab yang disyariatkan guna menyembuhkan penyakitnya. Demikian pula, hendaknya dia melawan segala rasa was-was itu dan tidak mengikutinya dengan cara berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

c. Mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang disyariatkan.

Seharusnya dia tidak selalu menggunakan orang lain dalam meruqyah dirinya. Hendaknya dia mulai menanamkan keyakinan bahwa dirinya mampu untuk meruqyah sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Kemudian dia bersungguh-sungguh mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang disyariatkan untuk dipakai meruqyah dirinya sendiri. Ruqyah-ruqyah yang dipelajarinya itu sangat bermanfaat guna mengobati atau membentengi dirinya dari berbagai gangguan setan dan penyakit. Untuk meruqyah dirinya, dia bisa membaca seperti surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Naas, Ayat Kursi, dan yang lainnya. Dia bisa membaca ruqyah-ruqyah itu sebelum tidur, di pagi dan sore hari, setelah shalat wajib, atau waktu-waktu lain sesuai dengan yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wirid-wirid yang dibacanya itu ibarat baju atau besi yang dipakai untuk membentengi dari berbagai bahaya. Wirid-wirid itu adalah sebab yang bermanfaat untuk melindungi dirinya. Sedangkan pemberi manfaat dan penolak bahaya yang sebenarnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Ibid, hal. 8)


Bacaan dan Tata Cara Ruqyah

Tentunya bacaan dan wirid terbaik untuk meruqyah adalah kalam Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Menggunakan kalam-Nya dalam meruqyah mengandung keberkahan Ilahi yang tak terkira. Ketika seorang peruqyah mengharapkan kesembuhan hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sangat tepat dan utama bila dia menggunakan Kalamullah. Ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa Al-Qur`an sendiri memang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penyembuh dari segala jenis penyakit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)

قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ

Katakanlah: ‘(Al-Qur`an) itu adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)

Alam semesta ini adalah ciptaan, milik, dan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu berhadapan dengan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat pingsan dan tersungkur sujud tatkala mendengar firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit sana. Sedangkan langit-langit bergemuruh dengan dahsyat karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal ini telah dikabarkan oleh Rasul yang jujur lagi dibenarkan ucapannya, yaitu Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al-Hasyr: 21)

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Termasuk perkara yang dimaklumi bahwa sebagian ucapan memiliki keistimewaan dan kemanfaatan yang telah teruji. Maka bagaimana kita menganggap ucapan Rabb semesta alam ini? Tentunya keutamaan ucapan-Nya atas segala ucapan yang lain seperti keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh makhluk-Nya. Ucapan-Nya merupakan penyembuh yang sempurna, pelindung yang bermanfaat, cahaya yang memberi petunjuk, dan rahmat yang menyeluruh. Ucapan-Nya yang sekiranya diturunkan kepada sebuah gunung niscaya akan pecah karena keagungan dan kemuliaan-Nya.” (Lihat Zadul Ma’ad cet. Muassasah Ar-Risalah hal. 162-163)

Berobat dengan Al-Qur`an adalah penyembuhan yang mujarab. Terlebih lagi jika dibacakan oleh seorang yang memiliki kekuatan iman. Dengan demikian, pengaruh bacaan itu akan bertambah ampuh untuk pengobatan segala penyakit dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyembuhan dengan Al-Qur`an tak hanya bagi penyakit jiwa, bahkan juga sangat mumpuni bagi penyakit jasmani. Cukuplah sebagai bukti konkretnya peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu (lihat rubrik Hadits). Hadits tersebut menunjukkan betapa besar pengaruh Al-Qur`an bagi penyembuhan penyakit jasmani. Bila seorang muslim melakukannya dengan keyakinan penuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya akan terealisasi dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Menurut sebagian kalangan, letak ruqyah dalam surat Al-Fatihah adalah pada firman-Nya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa dua kalimat ini termasuk bagian yang terkuat dari obat ini. Karena keduanya mengandung penyerahan, penyandaran, pemasrahan, permohonan tolong, permintaan, dan kebutuhan yang total kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, keduanya menggabungkan puncak segala tujuan, yaitu peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sarana yang paling utama yaitu permintaan tolong untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak terdapat pada selainnya.

Suatu ketika, aku pernah jatuh sakit di kota Makkah. Aku sama sekali tidak mendapatkan seorang dokter dan obat. Maka aku pun berobat dengan surat Al-Fatihah. Aku ambil minum dari air Zamzam dan kubacakan atasnya surat Al-Fatihah, lalu aku meminumnya. Aku pun sembuh secara total. Semenjak itu, aku selalu berpegang dengan cara pengobatan ini pada kebanyakan penyakit yang aku derita. Akhirnya aku benar-benar meraih manfaat dengan surat Al-Fatihah.” (Zadul Ma’ad, 4/164, cet. Muassasah Ar-Risalah)

Penyembuhan Al-Qur`an terhadap penyakit jiwa sangat manjur pula. Seperti untuk penyembuhan sempit dada, pengaruh sorotan mata yang jahat dan mampu merusak akal dan jiwa, kemasukan jin, kena sihir, dan lain-lain. Kesimpulannya, Al-Qur`an adalah obat bagi segala penyakit.

Selain Al-Fatihah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meruqyah dengan Al-Mu’awwidzat sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفِثُ عَلَى نَفْسِهِ – فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ – بِالْمُعَاوِذَاتِ. فَلَمَّا ثَفُلَ، كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Mu’awwidzaat dan meniupkannya dengan sedikit meludah atas diri beliau di masa sakit beliau yang membawa kepada kematiannya. Tatkala beliau merasa semakin parah, aku yang membacakan Al-Mu’awwidzaat dan meniupkannya atas beliau. Aku usapkan bacaan itu dan tiupan (ludah)nya dengan tangan beliau sendiri. Hal ini karena keberkahan tangan beliau.” (HR. Al-Bukhari)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan hadits ini dalam kitab Shahih-nya dengan judul Bab Meruqyah dengan Al-Qur`an dan Al-Mu’awwidzat. Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan hal ini sebagai berikut: “Judul bab ini merupakan metode untuk mengikutkan hukum sesuatu yang khusus (Al-Mu’awwidzat) dengan sesuatu yang umum (Al-Qur`an). Karena yang dimaksud dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat Al-Falaq, An-Naas, dan Al-Ikhlash sebagaimana telah lewat penjelasannya di bagian akhir Kitab At-Tafsir (dalam Shahih Al-Bukhari). Bisa jadi istilah Al-Mu’awwidzat di sini termasuk Bab At-Taghlib (penggunaan istilah untuk sesuatu yang biasa dipakai). Atau yang dimaksud (dengan Al-Mu’awwidzat) adalah surat Al-Falaq, An-Naas, dan seluruh ayat-ayat Al-Qur`an yang mengandung ta’awwudz (permintaan perlindungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Kemudian Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan sebuah ayat sebagai contoh ucapannya. Namun beliau mengatakan bahwa pendapat yang pertama lebih baik. Beliau menyebutkan pula sebuah hadits dengan sanadnya yang disebutkan di dalamnya: “Tak ada ruqyah kecuali dengan Al-Mu’awwidzat.” Lalu beliau berbicara tentang kelemahan hadits ini dari sisi periwayatannya. Menurut beliau, jika hadits ini shahih maka hukumnya telah dihapuskan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan untuk meruqyah dengan Al-Fatihah.

Setelah beberapa penjelasan, beliau pun berkata: “…Hal ini tidak menunjukkan larangan ber-ta’awwudz (berlindung) dengan selain dua surat ini (Al-Falaq dan An-Naas). Hal itu hanyalah menunjukkan keutamaannya. Terlebih lagi, telah ada dalil yang membolehkan ber-ta’awwudz dengan selain keduanya. Hanya saja beliau mencukupkan diri dengan keduanya, karena keduanya mengandung al-isti’adzah (perlindungan) yang ringkas dan padat dari segala perkara yang tidak disukai, baik secara global maupun rinci….” (Fathul Bari, 10/236-237 cet. Darul Hadits)

Bolehnya meruqyah dengan Al-Qur`an tak terbatas pada surat Al-Fatihah, Al-Falaq, An-Naas, dan Al-Ikhlas. Karena Al-Qur`an secara keseluruhan merupakan obat bagi segala penyakit. Oleh karena itu, boleh meruqyah dengan ayat atau surat mana saja dari Al-Qur`an. Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Bila diperbolehkan meruqyah dengan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) yang keduanya merupakan dua surat dari Al-Qur`an, berarti meruqyah dengan yang selebihnya dari Al-Qur`an juga diperbolehkan. Karena seluruhnya adalah Al-Qur`an.” (Dinukil dari kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 38)

Demikian pula boleh meruqyah dengan nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Al-Qur`an juga mengandung keduanya. Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Jibril ‘alaihissalam pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jibril bertanya: “Wahai Muhammad, apakah engkau mengeluhkan rasa sakit?” Nabi menjawab: “Iya.” Maka Jibril membacakan:

بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ، مِنْ شَرٍّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ حَاسِدٍ، اللهُ يَشْفِيْكَ، بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ

Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang mengganggumu dan keburukan setiap jiwa atau sorotan mata yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (HR. Muslim)


Adapun doa-doa yang dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah juga merupakan pengobatan yang mujarab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kata-kata yang ringkas dan padat (jawami’ul kalim) sehingga doa-doa yang beliau baca benar-benar barakah. Inilah keistimewaan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila kita memakai doa-doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah dengan keyakinan yang mantap, niscaya manfaatnya akan tampak nyata dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan sebagian doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Namun bukan berarti tidak ada yang lain lagi. Selama suatu doa dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih untuk meruqyah dirinya atau orang lain maka kita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menggunakannya. Sebaik-baik teladan adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Mengenai doa-doa yang kami maksud adalah sebagai berikut:

1. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Tsabit Al-Bunani: “Maukah engkau aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Tsabit menjawab: “Ya”. Maka Anas membaca:

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَافِي لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا

Ya Allah, Rabb sekalian manusia, yang menghilangkan segala petaka, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat lain dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata: “Dahulu bila salah seorang dari kami mengeluhkan rasa sakit maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya dengan tangan kanan beliau dan membaca:

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا

Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada penyembuh kecuali penyembuhan-Mu, sebuah penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyah dengan membaca:

امْسِحِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءِ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ

Hapuslah petakanya, wahai Rabb sekalian manusia. Di tangan-Mu seluruh penyembuhan, tak ada yang menyingkap untuknya kecuali Engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila meruqyah beliau membaca:

بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيْمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا

Dengan nama Allah. Tanah bumi kami dan air ludah sebagian kami, semoga disembuhkan dengannya orang yang sakit di antara kami, dengan seizin Rabb kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Dari Abu Al-‘Ash Ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengeluhkan sakit yang dirasakannya di tubuhnya semenjak masuk Islam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ فِيْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ ثَلاَثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

Letakkanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah (Dengan nama Allah)’ sebanyak tiga kali. Lalu ucapkanlah:

أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan,’ sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim)

5. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ، إِلاَّ عَافَاهُ اللهُ فِيْ ذَلِكَ

Barangsiapa mengunjungi orang sakit selama belum datang ajalnya, lalu dia bacakan di sisinya sebanyak tujuh kali:

أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ

Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang besar, semoga menyembuhkanmu,’ niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit itu.” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Takhrij Al-Adzkar)

6. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungiku (ketika aku sakit) dan beliau membaca:

اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا

“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” (HR. Muslim)


Cara-Cara Meruqyah

Perkara lain yang demikian serius untuk diperhatikan oleh seorang peruqyah adalah tidak melakukan tatacara ruqyah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ruqyah adalah amal yang disyariatkan, maka hendaknya sesuai dengan ajaran yang mengemban syariat. Berikut ini beberapa tatacara ruqyah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit, bukan meludah.

Inilah yang disebut dengan an-nafats. Sedangkan di atasnya adalah at-tafal, dan di atasnya adalah al-buzaq, yang disebut dalam bahasa kita dengan meludah. Yang disyariatkan ketika meruqyah adalah melakukan an-nafats dan at-tafal. Tatacara ini telah dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini menunjukkan bolehnya melakukan an-nafats dan at-tafal dalam meruqyah. Ini adalah pendapat sekumpulan shahabat dan jumhur para ulama.

Adapun waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan sebelum membaca ruqyah, sesudahnya, atau bersamaan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang sebagiannya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, sedangkan yang lain hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja dan hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

2. Meruqyah tanpa an-nafats dan at-tafal.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Demikian pula ruqyah yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.

3. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit (an-nafats) pada jari telunjuk, lalu meletakkannya di tanah kemudian mengusapkannya pada tempat yang sakit ketika melakukan ruqyah.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan Al-Imam Muslim.

4. Mengusap dengan tangan kanan pada tubuh setelah membaca ruqyah atau pada tempat yang sakit sebelum membaca ruqyah.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dan hadits ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.

5. Menyediakan air dalam sebuah bejana lalu membacakan ruqyah yang disyariatkan padanya, dan meniupkan padanya sedikit air ludah. Kemudian dimandikan atau diminumkan kepada orang yang sakit, atau diusapkan ke tempat yang sakit.

Ini berdasarkan hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 548) dan hadits Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, An-Nasa`i serta yang lainnya, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 1526). Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa atsar sebagaimana dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf Abdur Razaq.

Demikian pula sebelum ini kami telah membawakan pengakuan Ibnul Qayyim bahwa ketika beliau sakit di Makkah pernah berobat dengan meminum air Zamzam yang dibacakan atasnya Al-Fatihah berulang kali. Selanjutnya beliau berkata: “Darinya aku memperoleh manfaat dan kekuatan yang belum pernah aku ketahui semisalnya pada berbagai obat. Bahkan bisa jadi perkaranya lebih besar daripada itu, akan tetapi sesuai dengan kekuatan iman dan kebenaran keyakinan. Wallahul Musta’an.” (Madarijus Saalikin, 1/69)

Cara yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim ini juga merupakan pendapat Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz rahimahumallah. (Lihat Ahkaam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 65)

6. Menuliskan ayat-ayat Al-Qur`an pada selembar daun, atau yang sejenisnya, atau pada sebuah bejana lalu dihapus dengan air, kemudian air itu diminum atau dimandikan kepada orang yang sakit.

Cara ini diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Di antara yang membolehkannya adalah Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Qilabah, Ahmad bin Hanbal, Al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Sedangkan yang memakruhkannya adalah Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu Sirin, dan Ibnul ‘Arabi rahimahumullah. Al-Lajnah Ad-Da`imah sebagai tim fatwa negara Saudi Arabia pernah ditanya tentang hal ini. Mereka menjawab bahwa hal ini tidak datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Khulafa` Ar-Rasyidun, dan para shahabat yang lainnya. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tidaklah shahih. Selanjutnya mereka menyebutkan nama-nama ulama yang membolehkan sebagaimana yang tadi telah kami singgung. Kemudian mereka berkata: “Bagaimana pun juga bahwa amalan yang seperti ini tidaklah dianggap syirik.” (Lihat Majmu’ Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah soal no. 184)

Demikianlah beberapa penjelasan tentang ruqyah syar’i yang bisa kami cantumkan dalam tulisan ini. Sebenarnya masih banyak pembahasan tentang ruqyah syar’i yang tidak bisa kami sertakan di sini karena keterbatasan tempat. Semoga yang kami tuliskan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bermanfaat bagi seluruh pembaca yang budiman. Akhirnya, kesempurnaan itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Dikutip dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=359 Judul : Menelusuri Ruqyah Syar’iyyah

Baca risalah terkait ini : Tata Cara Menangkal dan Menanggulangi Sihir

http://qurandansunnah.wordpress.com/ :pada 12/10/2009