Tata Cara Pengobatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam
Setiap Penyakit Pasti Memiliki Obat..
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Hadits Riwayat Muslim)
Menelusuri Ruqyah Syar’iyyah
Merunut   sejarahnya, ruqyah merupakan salah satu metode pengobatan yang cukup   tua di muka bumi ini. Dengan datangnya Islam, metode ini kemudian   disesuaikan dengan nafas dan tata cara yang sesuai syariat.
Ada   akibat tentu dengan sebab. Yang demikian merupakan ketentuan Allah   Subhanahu wa Ta’ala yang berlaku di jagad raya ini. Memang ini tidak   mutlak terjadi pada seluruh perkara. Namun mayoritas urusan makhluk tak   lepas dari hukum sebab dan akibat. Hukum ini merupakan hikmah Allah   Subhanahu wa Ta’ala yang lengkap dengan kebaikan. Makhluk mana pun tak   bisa menggapai keinginannya kecuali dengan hukum sebab dan akibat. Di   alam nyata ini, tak ada sebab yang sempurna dan bisa melahirkan akibat   dengan sendirinya kecuali kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kehendak   Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan sebab bagi segala sebab. Kehendak   Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kekuatan yang selalu menuntut   (memunculkan) akibat. Tak satu sebab pun bisa melahirkan akibat dengan   sendirinya, melainkan harus disertai sebab yang lain yaitu kehendak   Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan pada   sebagian sebab, hal-hal yang dapat menggagalkan akibatnya. Adapun   kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak membutuhkan sebab yang lain   kecuali kehendak-Nya itu sendiri.
Tak   ada sebab apapun yang dapat melawan dan membatalkannya. Namun  terkadang  Allah Subhanahu wa Ta’ala membatalkan hukum kehendak-Nya  dengan  kehendak-Nya (yang lain). Dialah yang menghendaki sesuatu lalu   menghendaki lawan yang bisa mencegah terjadinya. Inilah sebab mengapa   seorang hamba wajib memasrahkan dirinya, takut, berharap, dan   berkeinginan hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengucapkan dalam   doanya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرَضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمَعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan pemeliharaan-Mu dari siksa-Mu. Dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ
“Tak ada tempat selamat dari Dzat-Mu kecuali kepada Dzat-Mu.” (HR. Muslim)
Di   antara sekian akibat yang membutuhkan sebab adalah kesembuhan.   Kesembuhan datang dengan sebab berobat. Namun, apakah setiap orang yang   berobat pasti sembuh? Jawabannya tentu tidak. Karena kesembuhan itu   datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan dari obat atau orang   yang mengobati. Obat akan manjur dan mengantarkan kepada kesembuhan bila   Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Karena itu, seorang yang berobat   tidak boleh menyandarkan dirinya kecuali hanya kepada Allah Subhanahu  wa  Ta’ala, bukan kepada obat dan orang yang mengobati.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memaparkan perihal berobat dalam beberapa haditsnya. Di antaranya:
1. Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap   penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan   penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:
كُنْتُ   عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ   اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ   يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ   دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا   هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ
Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya,   wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala   tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya,   kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.”   (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah,   dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih.  Syaikhuna  Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam  kitabnya  Al-Jami’ Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486)
4. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Sesungguhnya   Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan sebuah penyakit  melainkan  menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang  bisa  mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa   mengetahuinya.”   (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan   disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam   Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)
Dalam   berobat, banyak cara yang bisa ditempuh asalkan tidak melanggar  syariat  Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun para ulama berbeda pendapat  tentang  hukum berobat dan meninggalkannya. Tentunya perselisihan mereka   berangkat dari perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang ada dalam   permasalahan ini. Terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama dalam   menentukan hukum berobat.
Pertama,   menurut sebagian ulama bahwa berobat diperbolehkan, namun yang lebih   utama tidak berobat. Ini merupakan madzhab yang masyhur dari Al-Imam   Ahmad rahimahullahu.
Kedua,   menurut sebagian ulama bahwa berobat adalah perkara yang disunnahkan.   Ini merupakan pendapat para ulama pengikut madzhab Asy-Syafi’i   rahimahullahu. Bahkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam kitabnya   Syarh Shahih Muslim menisbahkan pendapat ini kepada madzhab mayoritas   para ulama terdahulu dan belakangan. Pendapat ini pula yang dipilih oleh   Abul Muzhaffar. Beliau berkata: “Menurut madzhab Abu Hanifah, berobat   adalah perkara yang sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati  wajib.”
Ketiga,   menurut sebagian ulama bahwa berobat dan meninggalkannya sama saja,   tidak ada yang lebih utama. Ini merupakan madzhab Al-Imam Malik   rahimahullahu. Beliau berkata: “Berobat adalah perkara yang tidak mengapa. Demikian pula meninggalkannya.” (Lihat Fathul Majid, hal. 88-89)
Asy-Syaikh   Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memiliki metode yang   cukup baik dalam mempertemukan beberapa pendapat di atas. Beliau merinci   hukum berobat menjadi beberapa keadaan, sebagai berikut:
1.   Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat dan   meninggalkannya akan berakibat kebinasaan, maka hukumnya wajib.
2.   Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat, namun  meninggalkannya  tidak berakibat kebinasaan yang pasti, maka  melakukannya lebih utama.
3.   Bila dengan berobat diperkirakan kadar kemungkinan antara kesembuhan   dan kebinasaannya sama, maka meninggalkannya lebih utama agar dia tidak   melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa disadari. (Lihat Asy-Syarhul   Mumti’, 2/437)
Secara   garis besar, berobat merupakan perkara yang disyariatkan selama tidak   menggunakan sesuatu yang haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya   Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah   menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan   janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu ‘anhu)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيْثِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari obat yang buruk (haram).”   (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Asy-Syaikh Al-Albani   menshahihkannya dalam Shahih Ibnu Majah, 2/255) [Lihat kitab Ahkam   Ar-Ruqa wa At-Tama`im karya Dr. Fahd As-Suhaimi, hal. 21)
Di  antara cara pengobatan yang disyariatkan adalah melakukan ruqyah.   Akhir-akhir ini, pengobatan dengan ruqyah memang marak diperbincangkan   dan dipraktekkan di tengah kaum muslimin negeri ini. Padahal  sebelumnya  pengobatan dengan ruqyah tidak banyak diketahui oleh mereka.
Sayangnya,   sebagian kelompok menjadikan ruqyah sebagai arena untuk mengundang   simpati publik demi kepentingan yang bernuansa politik. Mereka   beramai-ramai membuka ruqyah center di berbagai tempat guna memenuhi   kebutuhan massa yang ‘haus’ akan pengobatan ruqyah. Namun sudahkah   praktek ruqyah itu mencocoki tuntunan syariat Islam? Pertanyaan ini   harus dijawab dengan ilmu yang benar, bukan dengan semangat belaka.
Oleh   karena itu perlu pembekalan ilmu yang dapat mengenalkan kaum muslimin   kepada ruqyah syar’i yang tepat sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.   Sehingga mereka terhindar dari praktek-praktek ruqyah yang salah kaprah   bahkan bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karena itu,   marilah kita simak beberapa pembahasan berikut ini.
Definisi Ruqyah
Makna  ruqyah secara terminologi adalah al-‘udzah (sebuah perlindungan)  yang  digunakan untuk melindungi orang yang terkena penyakit, seperti  panas  karena disengat binatang, kesurupan, dan yang lainnya. (Lihat  An-Nihayah  fi Gharibil Hadits karya Ibnul Atsir rahimahullahu 3/254)
Secara terminologi, ruqyah juga disebut pula dengan ‘azimah. Al-Fairuz Abadi berkata: “Yang  dimaksud ‘azimah-‘azimah adalah ruqyah-ruqyah. Sedangkan ruqyah yaitu  ayat-ayat Al-Qur`an yang dibacakan terhadap orang-orang yang terkena  berbagai penyakit dengan mengharap kesembuhan.” (Lihat Al-Qamus Al-Muhith pada materi عزم)
Adapun  makna ruqyah secara etimologi syariat adalah doa  dan bacaan-bacaan yang  mengandung permintaan tolong dan perlindungan  kepada Allah Subhanahu wa  Ta’ala untuk mencegah atau mengangkat  bala/penyakit.
Terkadang  doa atau  bacaan itu disertai dengan sebuah tiupan dari mulut ke kedua  telapak  tangan atau anggota tubuh orang yang meruqyah atau yang  diruqyah. (Lihat  transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz  Alus-Syaikh yang  berjudul Ar-Ruqa wa Ahkamuha oleh Salim Al-Jaza`iri,  hal. 4)
Tentunya ruqyah yang paling utama adalah doa dan bacaan yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Ibid, hal. 5)
Ruqyah di Masa Jahiliyyah
Setiap   manusia yang mengerti kemaslahatan tentunya selalu ingin menjaga   kesehatan tubuh dan jiwanya. Barangsiapa bisa memenuhi keinginan ini   berarti karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dirinya cukup besar.   Sehingga wajar jika pengobatan ruqyah telah dikenal secara luas di   tengah masyarakat jahiliyyah.
Ruqyah   adalah salah satu cara pengobatan yang mereka yakini dapat  menyembuhkan  penyakit dan menjaga kesehatan. Kala itu, ruqyah digunakan  untuk  mengobati berbagai penyakit, seperti tersengat binatang berbisa,  terkena  sihir, kekuatan ‘ain (mata jahat), dan lainnya.
Namun   yang disayangkan, ruqyah sering menjadi media untuk penyebarluasan   berbagai kesyirikan di kalangan mereka. Pengobatan ruqyah yang dilakukan   tak luput dari pelanggaran syariat. Di antaranya adalah pengakuan   mengetahui perkara ghaib, menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala,   menyandarkan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlindung   kepada jin, dan lain-lain.
Setelah   Islam datang, seluruh ruqyah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu   ‘alaihi wa sallam kecuali yang tidak mengandung kesyirikan. Islam   mengajarkan kaum muslimin untuk berhati-hati dalam menggunakan ruqyah.   Sehingga mereka tidak terjatuh ke dalam pengobatan ruqyah yang   mengandung bid’ah atau syirik.
‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
كُنَّ   نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ  تَرَى  فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ  بِالرُّقَى  مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“Dahulu   kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya: ‘Wahai   Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’ Beliau menjawab:   ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak   mengapa selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim no. 2200)
Kebanyakan   manusia terpedaya dengan penampilan ‘shalih’ dari orang yang meruqyah.   Sehingga mereka tak lagi memperhatikan tata cara dan isi ruqyah yang   dibacakan.
Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh hafizhahullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya) berkata: “Penyebaran   kesyirikan banyak terjadi di negeri-negeri Islam melalui para tabib,   orang yang mengobati dengan ramu-ramuan dan mengobati dengan Al-Qur`an.   Ibnu Bisyr menyebutkan pada permulaan Tarikh Najd, di antara faktor   penyebab tersebarnya kesyirikan di negeri Najd adalah keberadaan para   tabib dan ahli pengobatan dari orang-orang Badwi di berbagai kampung   sewaktu musim buah. Manusia membutuhkan mereka untuk keperluan meruqyah   dan pengobatan. Maka mereka memerintahkan manusia dengan kesyirikan dan   cara-cara yang tidak disyariatkan….” (Ibid, hal. 2)
Hukum Ruqyah
Ruqyah telah dikenal oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Islam. Tetapi kebanyakan ruqyah mereka mengandung kesyirikan.   Padahal Islam datang untuk mengenyahkan segala bentuk kesyirikan.   Alasan inilah yang membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam   melarang para shahabat radhiallahu ‘anhum untuk melakukan ruqyah.   Kemudian beliau membolehkannya selama tidak mengandung kesyirikan.  Beberapa hadits telah menjelaskan kepada kita tentang fenomena di atas.  Di antaranya:
1.   Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata: Aku   mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.”   (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim. Hadits ini  dishahihkan  oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh  Al-Albani  juga menshahihkannya. Lihat Ash-Shahihah no. 331)
2. Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:
كُنَّ   نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ  تَرَى  فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ  بِالرُّقَى  مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?” Beliau menjawab: “Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim no. 2200)
3. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:
نَهَى   رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى فَجَاءَ   آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ   وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي مِنَ   الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَعَرَضُوْهَا   عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ   يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah. Lalu keluarga ‘Amr bin Hazm datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu memiliki ruqyah yang kami pakai untuk meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Tetapi engkau telah melarang dari semua ruqyah.” Mereka lalu menunjukkan ruqyah itu kepada beliau. Beliau bersabda: “Tidak mengapa, barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)
4. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
كَانَ   لِيْ خَالٌ يَرْقِي عَنِ الْعَقْرَبِ، فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى   اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَأَتَاهُ فَقَالَ: يَا   رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى وَأَنَا أَرْقِي مِنَ   الْعَقْرَبِ, فَقَالَ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ   فَلْيَفْعَلْ
“Dahulu   pamanku meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Sementara Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah. Maka pamanku   mendatangi beliau, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya  engkau  melarang dari segala ruqyah, dan dahulu aku meruqyah karena  (sengatan)  kalajengking.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun  bersabda: ‘Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)
5. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
كُنْتُ   أَرْقِي مِنْ حُمَةِ الْعَيْنِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَلَمَّا أَسْلَمْتُ   ذَكَرْتُهَا لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:   اعْرِضْهَا عَلَيَّ. فَعَرَضْتُهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: ارْقِ بِهَا فَلاَ   بَأْسَ بِهَا
“Di   masa jahiliyyah dulu aku meruqyah karena (sengatan) kalajengking dan   ‘ain (sorotan mata yang jahat). Tatkala aku masuk Islam, aku   memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Perlihatkan  ruqyah  itu kepadaku!’ Lalu aku menunjukkannya kepada beliau. Beliau  pun  bersabda: ‘Pakailah untuk meruqyah, karena tidak mengapa (engkau)   menggunakannya’.”  (HR. At-Thabrani dan dihasankan oleh Al-Haitsaimi  dalam Majma’  Az-Zawa`id. Lihat tahqiq Al-Huwaini terhadap kitab  Al-Amradh karya  Dhiya`uddin Al-Maqdisi, hal. 220)
6. Dari Syifa` bintu Abdullah radhiallahu ‘anha:
أَنَّهَا   كَانَتْ تُرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ اْلإِسْلاَمُ،   قَالَتْ: لاَ أَرْقِي حَتَّى اسْتَأْذَنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ   عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَيْتُهُ فَاسْتَأْذَنْتُهُ. فَقَالَ عَنْهَا   رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ارْقِي مَا لَمْ يَكُنْ   فِيْهَا شِرْكٌ
“Dahulu   dia meruqyah di masa jahiliyyah. Setelah kedatangan Islam, maka dia   berkata: ‘Aku tidak meruqyah hingga aku meminta izin kepada Rasulullah   Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu dia pun pergi menemui dan meminta   izin kepada beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda   kepadanya: ‘Silahkan engkau meruqyah selama tidak mengandung perbuatan  syirik’.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan yang lainnya. Al-Huwaini berkata: “Sanadnya muqarib.” Ibid, hal. 220)
Demikianlah   mereka melakukan ruqyah di masa jahiliyyah. Ruqyah mereka mengandung   perbuatan syirik sehingga dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa   sallam. Kemudian beliau membolehkannya bagi mereka selama tidak   mengandung kesyirikan. Beliau membolehkannya karena ruqyah itu   bermanfaat bagi mereka dalam banyak hal.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: 
“Hadits-hadits sebelumnya menunjukkan bahwa hukum asal seluruh ruqyah adalah dilarang, sebagaimana yang tampak dari ucapannya: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala ruqyah.’ Larangan terhadap segala ruqyah itu berlaku secara mutlak. Karena di masa jahiliyyah mereka meruqyah dengan ruqyah-ruqyah yang syirik dan tidak dipahami. Mereka meyakini bahwa ruqyah-ruqyah itu berpengaruh dengan sendirinya. Ketika mereka masuk Islam dan hilang dari diri mereka yang demikian itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dari ruqyah secara umum agar lebih mantap larangannya dan lebih menutup jalan (menuju syirik). Selanjutnya ketika mereka bertanya dan mengabarkan kepada beliau bahwa mereka mendapat manfaat dengan ruqyah-ruqyah itu, beliau memberi keringanan sebagiannya bagi mereka. Beliau bersabda: ‘Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa menggunakan ruqyah-ruqyah selama tidak mengandung syirik’.” (Ahkamur Ruqa wa At-Tama`im hal. 35)
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ
“Tidak ada ruqyah kecuali karena ‘ain (sorotan mata yang jahat) atau humah (sengatan kalajengking).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah dari shahabat ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu)
Menurut   sebagian pendapat bahwa ruqyah tidak diperbolehkan kecuali karena dua   hal yang telah disebutkan dalam hadits di atas. (Lihat Fathul Bari,   10/237, cetakan Darul Hadits)
Ini   adalah pendapat yang lemah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa   sallam tidak memaksudkan dengan sabdanya tersebut untuk melarang ruqyah   pada yang selain keduanya. Yang beliau maksudkan bahwa ruqyah yang   paling utama dan bermanfaat adalah ruqyah yang disebabkan karena ‘ain   atau humah. Hal ini terlihat dari uraian hadits. Ketika Sahl bin Hunaif   terkena ‘ain, dia bertanya: “Adakah yang lebih baik dalam ruqyah?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ نَفْسٍ أَوْ حُمَةٍ
“Tidak ada ruqyah kecuali karena satu jiwa dan humah (sengatan kalajengking).”
Demikian   pula hadits-hadits yang lain, baik yang bersifat umum atau khusus,   seluruhnya mengarah kepada makna di atas. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/161,   cet. Muassasah Ar-Risalah)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Para   ulama berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak   memaksudkan untuk membatasi ruqyah hanya pada keduanya dan melarang dari   selain keduanya. Yang beliau maksudkan adalah tidak ada ruqyah yang   lebih benar dan utama daripada ruqyah karena ‘ain dan hummah karena   bahaya keduanya sangat dahsyat.” (Syarh Shahih Muslim 14/177, cet.   Al-Maktab Ats-Tsaqafi)
Syarat-syarat Ruqyah
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang bolehnya ruqyah ketika terpenuhi tiga syarat:
1. Menggunakan Kalamullah atau nama-nama dan sifat-Nya.
2. Menggunakan lisan (bahasa) Arab atau yang selainnya, selama maknanya diketahui.
3. Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan sebab Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka   berselisih mengenai tiga hal di atas bila dijadikan sebagai syarat.   Yang kuat adalah pendapat yang mengharuskan untuk memenuhi tiga syarat   yang disebutkan.” (Fathul Bari, 10/237)
Dengan  penjelasan di atas, berarti segala ruqyah yang tidak memenuhi tiga  syarat itu tidak diperbolehkan. Jika kita perincikan, ada tiga jenis ruqyah  yang tidak diperbolehkan:
1. Ruqyah yang mengandung permohonan bantuan dan perlindungan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ruqyah-ruqyah   seperti ini sering dipakai oleh para dukun, tukang sihir, dan   paranormal. Mereka memohon bantuan dan perlindungan dengan menyebut   nama-nama jin, malaikat, nabi, dan orang shalih. Terkadang mereka   melakukan kesyirikan ini dengan kedok agama. Banyak orang awam yang   terkecoh dengan penampilan sebagian mereka yang memakai atribut agama.   Padahal ruqyah yang mereka lakukan dan ajarkan berbau mistik serta sarat   dengan kesyirikan.
2. Ruqyah dengan bahasa ‘ajam (non Arab) atau sesuatu yang tidak dipahami maknanya.
Mayoritas   ruqyah yang berbahasa ‘ajam mengandung penyebutan nama-nama jin,   permintaan tolong kepada mereka, dan sumpah dengan nama orang yang   mengagungkannya. Oleh karena itu, para setan segera menyambut dan   menaati orang yang membacanya. Keumuman ruqyah yang tersebar di tengah   manusia dan tidak menggunakan bahasa Arab banyak mengandung syirik.   Demikian yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa,   19/13-16)
Asy-Syaikh  Hafizh Al-Hakami  berkata: “Adapun ruqyah yang tidak memakai  lafadz-lafadz Arab, tidak  diketahui maknanya, tidak masyhur, dan tidak  didapatkan dalam syariat  sama sekali, maka bukanlah perkara yang datang  dari Allah Subhanahu wa  Ta’ala dan tidaklah berada dalam naungan  Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan hal itu merupakan bisikan setan kepada  para walinya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ
“Dan sesungguhnya para setan mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian.” (Al-An’am: 121)
Ruqyah semacam inilah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.”
Hal   itu karena orang yang mengucapkannya tidak mengetahui apakah ruqyahnya   menggunakan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, atau   para setan. Dia pun tidak mengetahui apakah di dalamnya terdapat   kekafiran atau keimanan, kebenaran atau kebatilan, kemanfaatan atau   marabahaya, dan apakah itu ruqyah atau sihir. Demi Allah, mayoritas   manusia benar-benar tenggelam dalam berbagai malapetaka ini. Mereka   menggunakannya dengan bentuk yang cukup banyak dan jenis yang beraneka   ragam….” (Ma’arijul Qabul, 1/406, cet. Darul Hadits)
Sebagian   kalangan membolehkan setiap ruqyah, walaupun maknanya tidak diketahui,   asalkan terbukti memberi kemanfaatan. Mereka berdalil dengan sabda  Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga ‘Amr bin Hazm  sewaktu  mereka bertanya tentang ruqyah:
مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Aku lihat tidak mengapa. Barangsiapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya hendaklah dia lakukan.”
Tetapi  pendapat mereka ini terbantah dengan hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i.  Dia meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa kalian menggunakan ruqyah-ruqyah itu selama tidak mengandung syirik”.
Hadits  ‘Auf ini menunjukkan dilarangnya seluruh ruqyah yang mengarah kepada  kesyirikan. Setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya,  tidak dirasa  aman, akan membawa kepada syirik. Sehingga setiap ruqyah  yang tidak  dimengerti maknanya dilarang dalam rangka berhati-hati.  (Lihat Fathul  Baari, 10/237)
3. Ruqyah yang diyakini bahwa pelakunya bisa menyembuhkan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tentu   yang demikian ini bertentangan dengan ajaran tauhid. Karena ruqyah   merupakan sebab, berarti pelaku ruqyah adalah pelaku sebab. Peruqyah   ibarat dokter, sedangkan ruqyah ibarat obat. Obat adalah sebab dan   dokter adalah pelaku sebab. Adapun pencipta sebab adalah Allah Subhanahu   wa Ta’ala. Suatu sebab akan bermanfaat jika dikehendaki oleh Allah   Subhanahu wa Ta’ala. Dahulu bangsa jahiliyah meyakini bahwa ruqyah   dipastikan berpengaruh dengan sendirinya. Oleh karena itu mereka sangat   mengagungkan ruqyah dan pelakunya. Ini merupakan syirik kepada Allah   Subhanahu wa Ta’ala. Seorang hamba diperintahkan untuk menjalani sebab   untuk mendapatkan akibat. Namun hatinya tidak boleh bergantung kepada   selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala   adalah Pencipta segala sebab dan akibat. Di tangan-Nya seluruh kekuasaan   langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلاَ مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلاَ مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Apa   saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak   ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh   Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.” (Fathir: 2)
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (Al-An’am: 17)
Seorang   hamba hendaknya mengharapkan kesembuhan hanya kepada Allah Subhanahu  wa  Ta’ala dan hanya bergantung kepada-Nya tatkala melakukan ruqyah.
Sifat-sifat Peruqyah dan Pasiennya
Ruqyah   merupakan perkara yang disyariatkan. Tentunya seorang peruqyah perlu   memperhatikan rambu-rambu syariat dalam meruqyah. Sehingga dia tidak   ngawur dan melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaknya dia   memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap ucapan dan perbuatannya.
Semestinya   dia bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh ibadahnya   tanpa sedikit pun berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Jika  meruqyah, hendaknya mengikhlaskan permintaan tolong dan  perlindungannya  hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menggapai  kemanfaatan dari  ruqyah yang dia lakukan.
b. Memiliki ilmu syar’i tentang ruqyahnya.
Seharusnya   dia mengetahui bahwa ruqyah yang digunakannya termasuk yang   disyariatkan. Hendaknya dia mengambil ruqyahnya dari Al-Qur`an,   As-Sunnah, dan doa-doa yang ma’ruf. Jika dia tidak mengetahui ruqyahnya   disyariatkan atau tidak, semestinya bertanya kepada orang yang berilmu.   Bila dia seorang yang bodoh, bukan ahlul ilmi, dan tidak mampu untuk   menelaah ruqyah yang digunakan atau ditinggalkannya, berarti ini   merupakan tanda bahwa dia tidak bisa. Dia tidak diperbolehkan bahkan   tidak pantas diberi kesempatan untuk meruqyah.
c. Bertujuan untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain.
Sudah   seharusnya dia bertujuan dengan ruqyahnya itu untuk memberi  kemanfaatan  kepada saudaranya yang membutuhkan. Ini adalah sifat yang  mulia dan  dianjurkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir  radhiallahu  ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya maka hendaknya dia lakukan.”
Memberi   kemanfaatan kepada saudara kita yang membutuhkan atau sakit adalah   perbuatan baik, yang sangat dituntut sesama hamba Allah Subhanahu wa   Ta’ala. Hamba yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah   seorang yang paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya.
d. Membuat orang yang diruqyah hanya bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila   meruqyah, seharusnya dia tidak membuat orang yang diruqyah bergantung   kepada dirinya. Jika dia telah sering meruqyah orang lain sampai  sembuh,  maka tidak perlu dia menceritakannya kepada yang akan diruqyah,   sehingga tidak menimbulkan keyakinan yang salah terhadap dirinya.   Sepantasnya dia menanamkan kepada orang yang akan diruqyah bahwa yang   mampu menyembuhkan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Adapun   ruqyah adalah sebab, demikian pula dirinya bukan pencipta akibat. Namun   sangat disayangkan, kebanyakan peruqyah membuat orang yang diruqyah   merasa yakin terhadap dirinya seolah-olah dialah yang menyembuhkan.   Dalam hal ini korban yang paling banyak adalah para wanita dan   orang-orang yang bodoh.
e. Khusyu’, tunduk, dan merendahkan diri hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ini   adalah kelanjutan dari pembahasan yang sebelumnya. Seharusnya dia  tidak  membesar-besarkan dirinya di hadapan orang yang akan diruqyah.   Sebagaimana dia juga tidak merasa besar terhadap dirinya sendiri.   Niatnya adalah memberi kemanfaatan kepada orang lain dengan seizin Allah   Subhanahu wa Ta’ala, bukan untuk merasa besar dan membesar-besarkan   diri. Sehingga dia tidak membuat manusia bergantung kepada dirinya,   tetapi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan dzikir dan   wirid-wirid yang disyariatkan di dalam As-Sunnah.
f. Menghindarkan diri dari celah-celah dosa dan fitnah.
Seharusnya   dia tidak mengikuti langkah-langkah setan yang bisa menggelincirkannya   ke dalam kubangan dosa dengan alasan ruqyah. Terlebih lagi bila yang   diruqyah adalah wanita. Seringkali setan menggunakan kesempatan ini   untuk menjatuhkan peruqyah ke dalam dosa. Misalnya, setan menggodanya   untuk berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang diruqyah padahal bukan   mahramnya. Atau menggodanya untuk menyentuh bagian tubuh wanita itu   dengan tangannya, dengan alasan agar ruqyahnya lebih manjur, dsb. Oleh   karena itu, banyak dari kalangan peruqyah yang rusak agamanya setelah   terlibat dalam dunia ruqyah. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih   bin Abdul Aziz Alus-Syaikh hal. 7-8)
Insya   Allah nanti akan kita jelaskan praktek-praktek ruqyah yang menyimpang   supaya kaum muslimin tidak mudah diperdaya oleh para peruqyah gadungan   yang melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun orang yang diruqyah hendaknya memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Memperbesar harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam meminta pertolongan dan perlindungan.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ   يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ  يَرِدْكَ  بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيْبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ  مِنْ  عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“Jika   Allah menimpakan kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat   menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi   kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan   kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (Yunus: 107)
وَإِنْ   يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ   يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وَهُوَ   الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ
“Jika   Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang   menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan   kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah   yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha   Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 17-18)
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80)
b. Meninggalkan rasa was-was.
Seharusnya   dia tidak mengikuti rasa was-was yang muncul pada dirinya, karena hal   itu berasal dari setan. Bila dia larut dalam rasa was-was itu, justru   secara tidak langsung dia telah membantu setan untuk lebih menguasai   dirinya. Karena itulah kita melihat kebanyakan orang yang tertimpa oleh   penyakit was-was gampang dimasuki oleh jin atau terkena penyakit   lainnya.
Di   samping itu, orang yang dihantui perasaan was-was akan membayangkan   hal-hal yang bersifat halusinasi, sehingga dia akan semakin lemah dan   bertambah penyakitnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Maka wajib   atas orang yang memiliki was-was untuk memperkuat tawakalnya kepada   Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalani berbagai sebab yang disyariatkan   guna menyembuhkan penyakitnya. Demikian pula, hendaknya dia melawan   segala rasa was-was itu dan tidak mengikutinya dengan cara berlindung   kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
c. Mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang disyariatkan.
Seharusnya   dia tidak selalu menggunakan orang lain dalam meruqyah dirinya.   Hendaknya dia mulai menanamkan keyakinan bahwa dirinya mampu untuk   meruqyah sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Kemudian dia  bersungguh-sungguh mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang  disyariatkan untuk dipakai meruqyah dirinya sendiri.  Ruqyah-ruqyah yang  dipelajarinya itu sangat bermanfaat guna mengobati  atau membentengi  dirinya dari berbagai gangguan setan dan penyakit.  Untuk meruqyah  dirinya, dia bisa membaca seperti surat Al-Fatihah,  Al-Ikhlash,  Al-Falaq, An-Naas, Ayat Kursi, dan yang lainnya. Dia bisa  membaca  ruqyah-ruqyah itu sebelum tidur, di pagi dan sore hari,  setelah shalat  wajib, atau waktu-waktu lain sesuai dengan yang  dituntunkan oleh  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wirid-wirid yang dibacanya itu  ibarat baju atau besi yang dipakai untuk membentengi dari berbagai  bahaya. Wirid-wirid itu adalah sebab yang bermanfaat untuk melindungi  dirinya. Sedangkan pemberi manfaat dan penolak bahaya yang sebenarnya  adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Ibid, hal. 
Bacaan dan Tata Cara Ruqyah
Tentunya   bacaan dan wirid terbaik untuk meruqyah adalah kalam Pencipta, Pemilik   dan Pengatur alam semesta ini. Menggunakan kalam-Nya dalam meruqyah   mengandung keberkahan Ilahi yang tak terkira. Ketika seorang peruqyah   mengharapkan kesembuhan hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka   sangat tepat dan utama bila dia menggunakan Kalamullah. Ucapan Allah   Subhanahu wa Ta’ala yang berupa Al-Qur`an sendiri memang diturunkan oleh   Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penyembuh dari segala jenis  penyakit.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا   أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ   لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Hai   manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb   kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan   petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Katakanlah: ‘(Al-Qur`an) itu adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)
Alam   semesta ini adalah ciptaan, milik, dan aturan Allah Subhanahu wa   Ta’ala. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu berhadapan dengan   kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat pingsan dan   tersungkur sujud tatkala mendengar firman-firman Allah Subhanahu wa   Ta’ala di atas langit sana. Sedangkan langit-langit bergemuruh dengan   dahsyat karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal   ini telah dikabarkan oleh Rasul yang jujur lagi dibenarkan ucapannya,   yaitu Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu   wa Ta’ala berfirman:
لَوْ   أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا   مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا   لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Kalau   sekiranya Kami menurunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti   kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada   Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya   mereka berfikir.” (Al-Hasyr: 21)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Termasuk   perkara yang dimaklumi bahwa sebagian ucapan memiliki keistimewaan dan   kemanfaatan yang telah teruji. Maka bagaimana kita menganggap ucapan   Rabb semesta alam ini? Tentunya keutamaan ucapan-Nya atas segala ucapan   yang lain seperti keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh   makhluk-Nya. Ucapan-Nya merupakan penyembuh yang sempurna, pelindung   yang bermanfaat, cahaya yang memberi petunjuk, dan rahmat yang   menyeluruh. Ucapan-Nya yang sekiranya diturunkan kepada sebuah gunung   niscaya akan pecah karena keagungan dan kemuliaan-Nya.” (Lihat Zadul Ma’ad cet. Muassasah Ar-Risalah hal. 162-163)
Berobat   dengan Al-Qur`an adalah penyembuhan yang mujarab. Terlebih lagi jika   dibacakan oleh seorang yang memiliki kekuatan iman. Dengan demikian,   pengaruh bacaan itu akan bertambah ampuh untuk pengobatan segala   penyakit dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyembuhan dengan   Al-Qur`an tak hanya bagi penyakit jiwa, bahkan juga sangat mumpuni bagi   penyakit jasmani. Cukuplah sebagai bukti konkretnya peristiwa yang   diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu (lihat rubrik   Hadits). Hadits tersebut menunjukkan betapa besar pengaruh Al-Qur`an   bagi penyembuhan penyakit jasmani. Bila seorang muslim melakukannya   dengan keyakinan penuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya akan   terealisasi dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibnul Qayyim   rahimahullahu berkata: “Menurut sebagian kalangan, letak ruqyah dalam   surat Al-Fatihah adalah pada firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan.”
Dan   tidak diragukan lagi bahwa dua kalimat ini termasuk bagian yang  terkuat  dari obat ini. Karena keduanya mengandung penyerahan,  penyandaran,  pemasrahan, permohonan tolong, permintaan, dan kebutuhan  yang total  kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, keduanya  menggabungkan  puncak segala tujuan, yaitu peribadahan kepada Allah  Subhanahu wa Ta’ala  dan sarana yang paling utama yaitu permintaan  tolong untuk beribadah  kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak  terdapat pada selainnya.
Suatu   ketika, aku pernah jatuh sakit di kota Makkah. Aku sama sekali tidak   mendapatkan seorang dokter dan obat. Maka aku pun berobat dengan surat   Al-Fatihah. Aku ambil minum dari air Zamzam dan kubacakan atasnya surat   Al-Fatihah, lalu aku meminumnya. Aku pun sembuh secara total. Semenjak   itu, aku selalu berpegang dengan cara pengobatan ini pada kebanyakan   penyakit yang aku derita. Akhirnya aku benar-benar meraih manfaat dengan   surat Al-Fatihah.” (Zadul Ma’ad, 4/164, cet. Muassasah Ar-Risalah)
Penyembuhan   Al-Qur`an terhadap penyakit jiwa sangat manjur pula. Seperti untuk   penyembuhan sempit dada, pengaruh sorotan mata yang jahat dan mampu   merusak akal dan jiwa, kemasukan jin, kena sihir, dan lain-lain.   Kesimpulannya, Al-Qur`an adalah obat bagi segala penyakit.
Selain   Al-Fatihah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meruqyah   dengan Al-Mu’awwidzat sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah   radhiallahu ‘anha. Beliau berkata:
أَنَّ   النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفِثُ عَلَى   نَفْسِهِ – فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ – بِالْمُعَاوِذَاتِ.   فَلَمَّا ثَفُلَ، كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ   نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا
“Dahulu   Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Mu’awwidzaat dan   meniupkannya dengan sedikit meludah atas diri beliau di masa sakit   beliau yang membawa kepada kematiannya. Tatkala beliau merasa semakin   parah, aku yang membacakan Al-Mu’awwidzaat dan meniupkannya atas beliau.   Aku usapkan bacaan itu dan tiupan (ludah)nya dengan tangan beliau   sendiri. Hal ini karena keberkahan tangan beliau.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Imam   Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan hadits ini dalam kitab Shahih-nya   dengan judul Bab Meruqyah dengan Al-Qur`an dan Al-Mu’awwidzat.  Sedangkan  Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan hal ini  sebagai berikut:  “Judul bab ini merupakan metode untuk mengikutkan  hukum sesuatu  yang khusus (Al-Mu’awwidzat) dengan sesuatu yang umum  (Al-Qur`an).  Karena yang dimaksud dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat  Al-Falaq,  An-Naas, dan Al-Ikhlash sebagaimana telah lewat penjelasannya  di bagian  akhir Kitab At-Tafsir (dalam Shahih Al-Bukhari). Bisa jadi  istilah  Al-Mu’awwidzat di sini termasuk Bab At-Taghlib (penggunaan  istilah untuk  sesuatu yang biasa dipakai). Atau yang dimaksud (dengan  Al-Mu’awwidzat)  adalah surat Al-Falaq, An-Naas, dan seluruh ayat-ayat  Al-Qur`an yang  mengandung ta’awwudz (permintaan perlindungan) kepada  Allah Subhanahu wa  Ta’ala.”
Kemudian   Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan sebuah ayat sebagai contoh   ucapannya. Namun beliau mengatakan bahwa pendapat yang pertama lebih   baik. Beliau menyebutkan pula sebuah hadits dengan sanadnya yang   disebutkan di dalamnya: “Tak ada ruqyah kecuali dengan Al-Mu’awwidzat.”   Lalu beliau berbicara tentang kelemahan hadits ini dari sisi   periwayatannya. Menurut beliau, jika hadits ini shahih maka hukumnya   telah dihapuskan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan   untuk meruqyah dengan Al-Fatihah.
Setelah beberapa penjelasan, beliau pun berkata: “…Hal   ini tidak menunjukkan larangan ber-ta’awwudz (berlindung) dengan  selain  dua surat ini (Al-Falaq dan An-Naas). Hal itu hanyalah  menunjukkan  keutamaannya. Terlebih lagi, telah ada dalil yang  membolehkan  ber-ta’awwudz dengan selain keduanya. Hanya saja beliau  mencukupkan diri  dengan keduanya, karena keduanya mengandung  al-isti’adzah  (perlindungan) yang ringkas dan padat dari segala perkara  yang tidak  disukai, baik secara global maupun rinci….” (Fathul Bari, 10/236-237 cet. Darul Hadits)
Bolehnya  meruqyah dengan Al-Qur`an tak terbatas pada surat Al-Fatihah, Al-Falaq,  An-Naas, dan Al-Ikhlas. Karena  Al-Qur`an secara keseluruhan merupakan  obat bagi segala penyakit. Oleh  karena itu, boleh meruqyah dengan ayat  atau surat mana saja dari  Al-Qur`an. Ibnu Baththal rahimahullahu  berkata: “Bila   diperbolehkan meruqyah dengan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas)   yang keduanya merupakan dua surat dari Al-Qur`an, berarti meruqyah   dengan yang selebihnya dari Al-Qur`an juga diperbolehkan. Karena   seluruhnya adalah Al-Qur`an.” (Dinukil dari kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 38)
Demikian   pula boleh meruqyah dengan nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala,   karena Al-Qur`an juga mengandung keduanya. Abu Sa’id Al-Khudri   radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Jibril ‘alaihissalam pernah   mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jibril bertanya: “Wahai   Muhammad, apakah engkau mengeluhkan rasa sakit?” Nabi menjawab: “Iya.”   Maka Jibril membacakan:
بِسْمِ   اللهِ أَرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ، مِنْ شَرٍّ كُلِّ نَفْسٍ   أَوْ عَيْنٍ حَاسِدٍ، اللهُ يَشْفِيْكَ، بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ
“Dengan   nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang mengganggumu dan   keburukan setiap jiwa atau sorotan mata yang dengki. Semoga Allah   menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (HR. Muslim)
Adapun  doa-doa yang dibaca oleh Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam untuk  meruqyah juga merupakan pengobatan yang  mujarab. Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam memiliki kata-kata  yang ringkas dan padat (jawami’ul  kalim) sehingga doa-doa yang beliau  baca benar-benar barakah. Inilah  keistimewaan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila kita memakai doa-doa beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah dengan keyakinan yang  mantap, niscaya manfaatnya akan tampak nyata dengan seizin Allah  Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam   tulisan ini kami akan menyebutkan sebagian doa Rasulullah Shallallahu   ‘alaihi wa sallam itu. Namun bukan berarti tidak ada yang lain lagi.   Selama suatu doa dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa   sallam dalam hadits yang shahih untuk meruqyah dirinya atau orang lain   maka kita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menggunakannya. Sebaik-baik teladan adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Mengenai doa-doa yang kami maksud adalah sebagai berikut:
1. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Tsabit Al-Bunani: “Maukah engkau aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Tsabit menjawab: “Ya”. Maka Anas membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَافِي لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya   Allah, Rabb sekalian manusia, yang menghilangkan segala petaka,   sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang bisa   menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah kesembuhan yang tidak meninggalkan   penyakit.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam   riwayat lain dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata: “Dahulu   bila salah seorang dari kami mengeluhkan rasa sakit maka beliau   Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya dengan tangan kanan beliau dan   membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya   Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah   dia, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada penyembuh kecuali   penyembuhan-Mu, sebuah penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2.   Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyah dengan membaca:
امْسِحِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءِ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ
“Hapuslah petakanya, wahai Rabb sekalian manusia. Di tangan-Mu seluruh penyembuhan, tak ada yang menyingkap untuknya kecuali Engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3.   Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila meruqyah beliau membaca:
بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيْمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan   nama Allah. Tanah bumi kami dan air ludah sebagian kami, semoga   disembuhkan dengannya orang yang sakit di antara kami, dengan seizin   Rabb kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4.   Dari Abu Al-‘Ash Ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau   mengeluhkan sakit yang dirasakannya di tubuhnya semenjak masuk Islam   kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu   ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
ضَعْ   يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ فِيْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ   ثَلاَثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ   شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Letakkanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah (Dengan nama Allah)’ sebanyak tiga kali. Lalu ucapkanlah:
أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
‘Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan,’ sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim)
5. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
مَنْ   عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ   مَرَّاتٍ: أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ   يَشْفِيْكَ، إِلاَّ عَافَاهُ اللهُ فِيْ ذَلِكَ
“Barangsiapa mengunjungi orang sakit selama belum datang ajalnya, lalu dia bacakan di sisinya sebanyak tujuh kali:
أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ
‘Aku   memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang besar, semoga   menyembuhkanmu,’ niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit itu.” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Takhrij Al-Adzkar)
6.   Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi   Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungiku (ketika aku sakit) dan   beliau membaca:
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” (HR. Muslim)
Cara-Cara Meruqyah
Perkara   lain yang demikian serius untuk diperhatikan oleh seorang peruqyah   adalah tidak melakukan tatacara ruqyah yang tidak diajarkan oleh   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ruqyah adalah amal yang   disyariatkan, maka hendaknya sesuai dengan ajaran yang mengemban   syariat. Berikut ini beberapa tatacara ruqyah yang dicontohkan oleh   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
1. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit, bukan meludah.
Inilah   yang disebut dengan an-nafats. Sedangkan di atasnya adalah at-tafal,   dan di atasnya adalah al-buzaq, yang disebut dalam bahasa kita dengan   meludah. Yang disyariatkan ketika meruqyah adalah melakukan an-nafats   dan at-tafal. Tatacara ini telah dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah   radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits   ini menunjukkan bolehnya melakukan an-nafats dan at-tafal dalam   meruqyah. Ini adalah pendapat sekumpulan shahabat dan jumhur para ulama.
Adapun   waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan sebelum membaca ruqyah,   sesudahnya, atau bersamaan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah   radhiallahu ‘anha yang sebagiannya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan   Muslim, sedangkan yang lain hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja dan   hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari  dan  Muslim.
2. Meruqyah tanpa an-nafats dan at-tafal.
Hal   ini ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh   Al-Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Demikian pula ruqyah   yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa   sallam yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan   diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
3.   Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit (an-nafats) pada jari   telunjuk, lalu meletakkannya di tanah kemudian mengusapkannya pada   tempat yang sakit ketika melakukan ruqyah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan Al-Imam Muslim.
4. Mengusap dengan tangan kanan pada tubuh setelah membaca ruqyah atau pada tempat yang sakit sebelum membaca ruqyah.
Hal   ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari   dan Muslim, dan hadits ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang diriwayatkan oleh   Al-Imam Muslim.
5.   Menyediakan air dalam sebuah bejana lalu membacakan ruqyah yang   disyariatkan padanya, dan meniupkan padanya sedikit air ludah. Kemudian   dimandikan atau diminumkan kepada orang yang sakit, atau diusapkan ke   tempat yang sakit.
Ini   berdasarkan hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh   Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam   Ash-Shahihah (no. 548) dan hadits Tsabit bin Qais bin Syammas   radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, An-Nasa`i serta yang   lainnya, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah   (no. 1526). Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa atsar sebagaimana dalam   Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf Abdur Razaq.
Demikian   pula sebelum ini kami telah membawakan pengakuan Ibnul Qayyim bahwa   ketika beliau sakit di Makkah pernah berobat dengan meminum air Zamzam   yang dibacakan atasnya Al-Fatihah berulang kali. Selanjutnya beliau   berkata: “Darinya aku memperoleh manfaat dan kekuatan yang belum   pernah aku ketahui semisalnya pada berbagai obat. Bahkan bisa jadi   perkaranya lebih besar daripada itu, akan tetapi sesuai dengan kekuatan   iman dan kebenaran keyakinan. Wallahul Musta’an.” (Madarijus Saalikin, 1/69)
Cara   yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim ini juga merupakan pendapat   Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz rahimahumallah. (Lihat Ahkaam Ar-Ruqa wa   At-Tama`im hal. 65)
6.   Menuliskan ayat-ayat Al-Qur`an pada selembar daun, atau yang   sejenisnya, atau pada sebuah bejana lalu dihapus dengan air, kemudian   air itu diminum atau dimandikan kepada orang yang sakit.
Cara  ini diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama.  Di antara yang  membolehkannya adalah Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu  Qilabah, Ahmad bin  Hanbal, Al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul  Qayyim. Sedangkan  yang memakruhkannya adalah Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu  Sirin, dan Ibnul  ‘Arabi rahimahumullah. Al-Lajnah Ad-Da`imah sebagai  tim fatwa negara  Saudi Arabia pernah ditanya tentang hal ini. Mereka  menjawab bahwa hal  ini tidak datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa  sallam, Al-Khulafa`  Ar-Rasyidun, dan para shahabat yang lainnya. Adapun  yang diriwayatkan  dari Ibnu ‘Abbas tidaklah shahih. Selanjutnya mereka  menyebutkan  nama-nama ulama yang membolehkan sebagaimana yang tadi  telah kami  singgung. Kemudian mereka berkata: “Bagaimana pun juga bahwa amalan yang seperti ini tidaklah dianggap syirik.” (Lihat Majmu’ Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah soal no. 184)
Demikianlah   beberapa penjelasan tentang ruqyah syar’i yang bisa kami cantumkan   dalam tulisan ini. Sebenarnya masih banyak pembahasan tentang ruqyah   syar’i yang tidak bisa kami sertakan di sini karena keterbatasan tempat.   Semoga yang kami tuliskan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan   bermanfaat bagi seluruh pembaca yang budiman. Akhirnya, kesempurnaan  itu  hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=359 Judul : Menelusuri Ruqyah Syar’iyyah